BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dalam Hukum Perdata Islam di Indonesia mengatur
beberapa hal, diantara yaitu tentang pernikahan, kewarisan dan wakaf. Hal-hal
diatas di atur dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata atau lebih dikenal
dengan KUHP.
Adanya hukum yang mengatur tentang perkawinan,
kewarisan, dan wakaf dalam KUHP ialah untuk mendapatkan hukum yang relevansi
dengan kehidupan di indonesia. Karena tidak bisa dipungkiri bahwa perkembangan
kajian dalam fiqih (dalam hal ini yang bersifat furu’ ) antara sebuah daerah
bisa saja berbeda dari daerah asalnya.
B. Rumusan Masalah
1. Apa Pengertian, Rukun, Syarat dan
hukum pidana Perkawinan?
2. Apa Pengertian, Subjek, dan
Syarat Kewarisan?
3. Seperti
apa Hukum pidanaWakaf di Indonesia?
C. Tujuan
Penulisan
1. Mengetahui
Pengertian, Rukun, Syarat dan hukum pidana Perkawinan
2. Mengetahui
Pengertian, Subjek, dan Syarat Kewarisan
3. Mengetahui
seperti apa Hukum pidanaWakaf di Indonesia
BAB II
PEMBAHASAN
A. Perkawinan Menurut Hukum Islam
1. Pengertian Perkawinan Menurut Hukum Islam
Secara Etimologi
Pernikahan bentukan dari kata benda Nikah kata itu berasal dari kata
bahasa arab yaitu Nikkah bahasa arab النكاح yang berarti perjanjian
perkawinan.
Sedangkan secara terminologi, nikah adalah akad atau
kesepakatan yang ditentukan oleh syara’ yang bertujuan agar seorang laki-laki
memiliki keleluasaan untuk bersenang-senang dengan seorang wanita dan
menghalalkan seorang wanita untuk bersenang-senang dengan seorang laki-laki.
Menurut Syara’, nikah
adalah aqad antara calon suami isteri untuk membolehkan keduanya bergaul
sebagai suami isteri. Aqad nikah artinya perjanjian untuk mengikatkan diri
dalam perkawinan antara seorang wanita dengan seorang laki-laki.
Menurut pengertian
fukaha, perkawinan adalah aqad yang mengandung ketentuan hukum kebolehan
hubungan kelamin dengan lafadl nikah atau ziwaj yang keduaya memiliki arti yang
sama.
2. Pengertian Perkawinan Menurut KUHP
Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Pasal
1, Perkawinan adalah :“Ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang
wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga)
yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”
Pengertian perkawinan
terdapat lima unsur di dalamnya adalah sebagai berikut:
a.
Ikatan lahir bathin.
b.
Antara seorang pria
dengan seorang wanita.
c.
Sebagai suami isteri.
d.
Membentuk keluarga
(rumah tangga) yang bahagia dan kekal.
e.
Berdasarkan Ketuhanan
Yang Maha Esa.
Menurut Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1974 Pasal 1 merumuskan bahwa ikatan suami isteri berdasarkan
Ketuhanan Yang Maha Esa, perkawinan merupakan perikatan yang suci. Perikatan
tidak dapat melepaskan dari agama yang dianut suami isteri.
3. Rukun Perkawinan
Rukun dan syarat adalah
sesuatu bila ditinggalkan akan menyebabkan sesuatu itu tidak sah. Perkawinan sebagai perbuatan hukum tentunya juga harus
memenuhi rukun dan syarat-syarat tertentu. Rukun nikah merupakan hal-hal yang
harus dipenuhi pada waktu melangsungkan perkawinan. Rukun nikah merupakan
bagian dari hakekat perkawinan, artinya bila salah satu dari rukun nikah tidak
terpenuhi maka tidak terjadi suatu perkawinan.Rukun adalah bagian dari sesuatu,
sedang sesuatu itu takkan ada tanpanya.Dengan demikian, rukun perkawinan adalah
ijab dan kabul yang muncul dari keduanya berupa ungkapan kata (shighat). Karena
dari shighah ini secara langsung akan menyebabkan timbulnya sisa rukun yang
lain:
a.
Ijab: ucapan yang
terlebih dahulu terucap dari mulut salah satu kedua belah pihak untuk
menunjukkan keinginannya membangun ikatan.
b.
Qabul: apa yang
kemudian terucap dari pihak lain yang menunjukkan kerelaan/ kesepakatan/ setuju
atas apa yang tela siwajibkan oleh pihak pertama.
c.
Adanya Pihak-pihak yang
melaksanakan akad nikah yaitu mempelai pria dan wanita.
d.
Adanya wali dari calon
istri.
e.
Adanya dua orang saksi.
Perkawinan di atas
menurut hukum Islam sudah dianggap sah, apabila perkawinan tersebut dihubungkan
dengan ketentuan Undang-Undang Nomor 1 pasal 2 ayat 2 tahun 1974 tentang
perkawinan itu berbunyi: "Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan
perundang-undangan yang berlaku." Dipertegas dalam dalam undang-undang
yang sama pada pasal 7 ayat 1 yang menyatakan bahwa perkawinan hanya diizinkan
bila pihak pria mencapai usia 19 tahun dan pihak wanita telah mencapai usia 16
tahun. Jika masih belum cukup umur, pada pasal 7 ayat 2 menjelaskan bahwa
perkawinan dapat disahkan dengan meminta dispensasi kepada pengadilan atau
pejabat lain yang diminta oleh kedua orang tua pihak pria atau pihak wanita.
4. Syarat-Syarat Perkawinan
Syarat perkawinan
adalah segala sesuatu yang pasti dan harus ada ketika pernikahan
berlangsung,tetapi tidak termasuk pada salah satu bagian dari hakekat
pernikahan.
Adapun Syarat-syarat
Perkawinan Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 ialah sebagai berikut :
|
Syarat-syarat perkawinan
|
|
|
Syarat materiil
|
Syarat formil
|
|
1. Harus ada persetujuan
dari kedua belah pihak calon mempelai.
2. Usia calon mempelai
pria sekurang-kurangnya harus sudah mencapai 19 tahun dan pihak calon
mempelai wanita harus sudah berumur 16 tahun.
3. Tidak terikat tali
perkawinan dengan orang lain.
4. Tidak melanggar
larangan perkawinan yang diatur Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 pasal 8,
pasal 9 dan pasal 10, yaitu larangan perkawinan.
5. Izin dari kedua orang
tua bagi calon mempelai yang belum berumur 21 tahun.
|
1.
Pemberitahuan
kehendak akan melangsungkan perkawinan kepada pegawai pencatat perkawinan.
2.
Pengumuman oleh
pegawai pencatat perkawinan.
3.
Pelaksanaan
perkawinan menurut hukum agama dan kepercayaan masing-masing.
4.
Pencatatan perkawinan
oleh pegawai pencatat perkawinan.
|
5. Sanksi
pidana dalam perkawinan
Sanksi
pidana dalam hukum perkawinan adalah hukuman yang akan diterima oleh
pihak-pihak tertentu yang melanggar hukum perkawinan. Sanksi pidana diatur
dalam Pasal 45 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975.
Pasal 451 Kecuali
apabila ditentukan lain dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku[1],
maka:
a) Barang siapa
yang melanggar ketentuan yang diatur dalam Pasal 3, 10 ayat (3), dan 40
Peraturan Pemerintah ini dihukum dengan hukuman denda setinggi-tingginya Rp
7.500, 00 (tujuh ribu lima ratus rupiah).
b) Pegawai
Pencatat yang melanggar ketentuan yang diatur dalam Pasal 6, 7, 8, 9, 10, ayat
(1), 11, 13, dan 44 Peraturan Pemerintah ini dihukum dengan hukuman kurungan
selama-lamanya 3 (tiga) bulan atau denda setinggi-tingginya Rp 7.500, 00 (tujuh
ribu lima ratus rupiah).
Tindak pidana yang dimaksud dalam ayat (1) di atas merupakan
pelanggaran. Dalam penjelasan Pasal 45 di atas dikemukakan bahwa
dalam pasal ini diatur tentang sanksi hukum dan denda bagi pihak mempelai yang
melanggar ketentuan Pasal 3, 10 ayat (3), dan 40, dan sanksi hukum kurungan
atau denda bagi pejabat pencatat perkawinan yang melanggar ketentuan Pasal 6,
7, 8, 9, 10 ayat (1), 11, 13, dan 44. Pejabat yang melanggar ketentuan tersebut
dihukum dengan hukuman kurungan selama-lamanya 3 bulan atau denda
setinggi-tingginya Rp 7.500, 00 (tujuh ribu lima ratus rupiah).
Ketentuan Pasal 45 dan penjelasan dari peraturan pemerintah tersebut,
membedakan jenis pelanggaran dan sanksi hukuman antara mempelai dengan pejabat
pencatat perkawinan. Perbedaan itu adalah hukuman bagi mempelai yang melakukan
pelanggaran hukuman atau denda setinggi-tingginya Rp 7.500, 00 (tujuh ribu lima
ratus rupiah), sedangkan bagi pejabat pencatat nikah yang melakukan pelanggaran
adalah hukuman kurungan selama-lamanya 3 bulan atau denda setinggi-tingginya Rp
7.500, 00 (tujuh ribu lima ratus rupiah).[2]
6. Beberapa
kasus hukum dalam pernikahan
a.
Putusnya
perkawinan
Putus
perkawinan adalah ikatan perkawinan antara seorang pria dnegan seorang wanita
sudah putus. Putus ikatan bisa berarti salah seorang di antara keduanya
meninggal dunia, antara pria dengan wanita sudah bercerai, dan salah seorang
diantara keduanya pergi ke tempat yang jauh kemudian tidak ada beritanya
sehingga pengadilan menganggap bahwa yang bersangkutan sudah meninggal.
Berdasarkan semua itu, dapat berarti ikatan perkawinan suami istri sudah putus
dan/atau bercerainya antara seorang pria dengan seorang wanita yang diikat oelh
tali perkawinan.
Kalau persoalan
putusnya perkawinan atau perceraian serta akibat-akibatnya, diatur dalam Pasal
38 sampai dengan Pasal 41 UU Perkawinan. Namun, tata cara perceraian diatur
dalam Pasal 14 sampai pasal 36 Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975, dan
teknisnya diatur dalam Peraturan Menteri Agama No. 3 Tahun 1975.
b.
Rujuk
Rujuk dalam
pengertian etimologi adalam kembali. Rujuk dalam pengertian terminologi adalah
kembalinya suami kepada hubungan nikah dnegan istri yang telah dicerai raj'I,
dan dilaksanakan selama istri masih dalam masa iddah.
Ketentuan di
atas tidak terdapat dalam UU Nomor 1 Tahun 1974 dan PP No. 9 Tahun 1975, tetapi
dijumpai dalam Pasal 163, 164, 165, dan 166 KHI.
c.
Pernikahan beda
agama
Perkawinan
antar pemeluk agama (pria yang beragama Islam dengan wanita yang beragama
selain Islam atau sebaliknya) tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan
di Indonesia, baik dalam UU No. 1 Tahun 1974, UU No. 7 Tahun 1989, maupun dalam
KHI Tahun 1991. Namun demikian, KHI mengungkapkan larangan terhadap orang Islam
mengawini orang yang tidak beragama Islam yang diatur dalam Pasal 40 dan 44
KHI.
B. Hukum Waris
1.
Pengertian Waris
Waris mempunyai banyak
pengertian yang di ungkapkan olehh beberapa pakar, namun disini kami hanya
mengungkapkan 2 pendapat yaitu :
a. Menurut Wirjono Prodjodikoro
“Hukum waris adalah soal
apakah dan bagaimanakah pembagian hak dan kewajiban-kewajiban tentang kekayaan
seseorang pada waktu ia meninggal dunia dan beralih kepada orang lain yang
masih hidup.”
b. Menurut Kompilasi Hukum Islam
Pasal 171 huruf a
Inpres Nomor 1 Tahun 1991 berbunyi: “Hukum warisan adalah hukum yang mengatur tentang pemindahan hak
pemilik harta peninggalan (tirkah) pewaris, menentukan siapa-siapa yang berhak
menjadi ahli waris dan berapa bagian masing-masing”.
Unsur-unsur yang
terdapat dalam hukum waris :
1) Kaidah hukum
Hukum waris dapat
dibedakan menjadi dua macam yaitu hukum waris tertulis dan hukum waris adat.
Hukum waris tertulis adalah kaidah-kaidah hukum yang terdapat di dalam
peraturan perundang-undangan dan yurisprudensi, sedangkan hukum waris adat
adalah hukum waris yang hidup dan tumbuh dalam masyarakat adat.
2) Pemindahan harta kekayaan pewaris
Pemindahan harta
kekayaan mengandung makna bahwa harta yang diperoleh pewaris selama hidupnya
dibagikan dan diserahkan kepad ahli
waris yang berhak menerimanya.
3) Ahli waris
Ahli waris adalah orang
yang berhak menerima warisan dari pewaris. Di dalam hukum waris telah
ditentukan bagian-bagian yang diterima ahli waris.
4) Bagian yang diterimanya
Masing-masing hukum
waris berbeda bagian yang diterima ahli waris, misalnya dalam hukum waris Islam
yang diterima ahli waris berbada antara satu dengan yang lain. Ahli waris
laki-laki mendapat bagian yang sangat besar dibandingkan dengan ahli waris
wanita.
5) Hubungan antara ahli waris dengan pihak ketiga
Hubungan anatara ahli
waris dengan pihak ketiga adalah hubungan hukum yang timbul antara pewaris
dengan pihak ketiga pada saat pewaris masih hidup, ia mempunyai utang maupun
piutang sehingga ahli warislah yang akan mengurusnya.
2. Subjek Hukum Waris
Subjek hukum waris
terdiri dari :
a.
Pewaris
·
Meninggalkan harta
·
Diduga meninggal dengan
meninggalkan harta
b.
Ahli waris
Ø
Sudah lahir pada saat
warisan terbuka (pasal 836 KUH Perdata).
Terjadinya pewarisan
harus memenuhi 3 unsur :
a.
Pewaris adalah orang
meninggal dunia meningggalkan harta kepada orang lain.
b.
Ahli waris adalah orang
yang menggantikan pewaris di dalam kedudukannya terhadap warisan, baik untuk
seluruhnya maupun untuk sebagian.
c.
Harta warisan adalah
segala harta kekayaan dari orang yang meningggal dunia.
3.
Syarat pewarisan
Syarat pewarisan
terdiri dari :
a.
Pewaris meninggal dan
meninggalkan harta.
b.
Orang yang menjadi ahli
waris harus mempunyai hak atas harta warisan si pewaris.
Hak ini dapat timbul
karena :
Ø
Antara pewaris dan ahli
waris harus ada hubungan darah baik sah atau luar nikah (untuk mewaris
berdasarkan undang-undang (pasal 832 KUH Perdata)).
Ø
Pemberian melalui surat
wasiat (pasal 874 KUH Perdata).
Ø
Orang yang menjadi ahli
waris, harus sudah ada pada saat pewaris meninggal dunia (pasal 836 KUH
Perdata). Dengan pengecualian apa yang tercantum dalam pasal 2 KUH Perdata yang
berbunyi :
“Anak yang ada dalam
kandungan seorang perempuan diangggap sebagai telah dilahirkan, bilamana
kepentingan si anak menghendakinya.”
Ø
Orang yang menjadi ahli
waris, tidak termasuk orang yang dinyatakan tidak patut, tidak cakap atau
menolak warisan
sebagaimana di atur dalam pasal 838 KUH Perdata, pasal 912 KUH Perdata, pasal 1058 KUH Perdata.
C. Wakaf di Indonesia
1.
Pengertian Wakaf
Menurut pengertian
bahasa, perkataan ” waqf” berasal dari kata arab “waqofa-yaqifu-waqfa” yang
berarti ragu-ragu, berhenti, memperlihatkan, memerhatikan, meletakkan,
mengatakan, mengabdi, memahami, mencegah, menahan ,dan tetap berdiri. Dalam
pengertian istilah secara umum, wakaf adalah sejenis pemberian yang
pelaksanaannya dilakukan dengan jalan menahan (pemilikan) asal (tahbisul
ahli)lalu menjadiakan manfaatnya berlaku umum. Pengertian cara pemanfaatannya
adalah menggunakan sesuai dengan kehendak pemberi wakaf tanpa imbalan.
Para pakar hukum islam
berbeda pendapat dalam memberi definisi wakaf secara hokum (istilah). Al minawi
yang bermahzab syafii mengemukakan bahwa wakaf adalah menahan harta benda yang
dimiliki dan menyalurkan manfaatnya dengan tetap menjaga pokok barang dan
keabadiannya yang berasal dari para dermawan atau pihak umum selain harta
maksiat, semata-mata karena ingin mendekatkan diri kepada Allah. Sedangkan Al
Kabisi yang bermahzab Hanafi mengemukakan bahwa wakaf adalah menahan benda
dalam kepemilikan wakif dan menyedekahkan manfaatnya kepada orang-orang miskin
dengan tetap menjaga keutuhan bendanya. Imam Abu Hanifah mengatakan bahwa wakaf
itu menahan benda milik si wakif dan benda yang disedekahkannya adalah
manfaatnya saja. Imam Malik mengemukakan bahwa wakaf itu adalah menjadikana
manfaat benda yang dimiliki baik berupa sewa atau hasilnya untuk diserahkan
kepada orang yang berhak dengan bentuk penyerahan berjangka waktu sesuai dengan
apa yang diperjanjikan atau yang dikehendaki oleh orang yang mewakafkan.
Dasar hukum pelaksanaan
wakaf dalam Islam adalah ayat-ayat Al-Quran dan hadits Nabi Muhammad SAW.
Adapun yang dinyatakan menjadi dasar hokum wakaf oleh para ulama, Alquran Surat
Al Hajj ayat 77.
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, ruku'lah kamu,
sujudlah kamu, sembahlah Tuhanmu dan perbuatlah kebajikan, supaya kamu mendapat
kemenangan.(Q.S. Al-Haj:77)
2. Pengaturan Wakaf di Indonesia
Pengaturan wakaf
sebelum kedatangan kaum penjajah di Indonesia dilaksanakan berdasarkan ajaran
Islam yang bersumber dari kitab fiqh bermahzab Syafii. Pada masa pemerintahan
kolonial Belanda, pengaturan wakaf telah dilaksanakan dengan mengeluarkan
berbagai peraturan tentang wakaf. [3]Antara
lain:
a.
Surat Edaran Sekretaris
Gubernemen pertama tanggal 31 januari 1905 no. 435, sebagaiman termuat dalam Bijblad 1905 nomor 6196 tentang
toezicht opden bouw van Mohammedaansche bedenhuizen. Bahwa mendirikan tanah
wakaf harus mendapat izin bupati.
b.
Surat Edaran Sekretaris
Gubernemen tanggal 4 juni 1931 no.1361/A termuat dalam Bijblad No. 125/3 tahun
1931 tentang Toezicht van de regering op mohammendanshe bedehuizen
Vrijdagdiensten en Wakafs. Bahwa untuk mendirikan tanah wakaf harus mendapat
izin dari bupati untuk tidak bertentangan dengan kepentingan umum.
c.
Surat Edaran Sekretaris
Gubernemen tanggal 24 Desember 1934 No. 3088/A termuat dalam Bijblad No.13390
tahun 1934, tentang Toezicht de regering op mohammedaansche bedehuizen
Vridagdiensten en wakafs. Bahwa wakaf supaya diberitahukan kepada bupati untuk
dicatat dan dibebaskan dari pajak.
d.
Surat Edaran Sekretaris
Gubernemen tanggal 27 mei 1935 no.1273/A termuat dalam bijblad No. 13480 tahun
1935 tentang Toezicht van de regering op mohammendanshe bedehuizen en
Wakafs.bahwa wakaf cukup diberitahukan.
e.
Setelah proklamasi
kemerdekaan RI, peraturan wakaf sebagiman disebut diatas masih tetap berlaku
berdasarkan bunyi pasal II aturan peralihan Undang-Undang dasar 1945. Sejak
terbentuknya kementrian agama pada tanggal 3 januari 1936, urusan tanah wakaf
menjadi urusan kementrian agama bagian D (ibadah sosial). Selanjutnya
kementrian agama pada tanggal 8 oktober 1956 mengeluarkan surat edaran nomor
5/D/1956 tentang prosedur perwakafan tanah.
f.
Lahirnya Undang-Undang
nomor 5 tahun 1960 tentang agraria telah memperkokoh eksistensi wakaf di
Indonesia. Untuk memberi kejelasan hokum tentang wakaf dan sebagai realisasi
dari undang-undang ini, pemerintah telah mengeluarkan Peratutan Pemerintah
nomor 28 tahun 1977 tentang perwakafan tanah milik. Sejak berlakunya PP
tersebut maka semua peraturan perundang-undangan tentang perwkafan sebelumnya,
sepanjang bertentangan dengan Peraturan Pemerintah ini dinyatakan tidak berlaku
lagi.
g.
Setelah terbitnya PP
nomor 28 Tahun 1977 tentang perwakafan tanah milik, berturut-turut diterbitkan
beberapa peraturan tentang pelaksanaan peraturan pemerintah
tersebut,diantaranya:
Pertama,Peraturan Menteri
Dalam Negeri Nomor 6 Tahun 1977 tentang pendaftaran tanah mengenai Perwakafan
Tanah Milik. Kedua, Peraturan Menteri Agama Nomor 1 tahun 1978 tentang
peraturan pelaksanaan PP nomor 28 tahun 1977 tentang perwakafan tanah milik. Ketiga,
Intruksi bersama antara Menteri Agama Menteri Dalam Negeri nomor 1 tahun 1978
tentang pelaksanaan PP no 28 tahun1977 tentang perwakafan tanah milik. Keempat,
Peraturan Direktorat Jenderal Bimas Islam Departemen Agama nomor Kep/D/75/D1978
tentang formulir dan pedoman pelaksanaan peraturan tentang perwakafan tanah
milik. Kelima, Keputusan Menteri Agama nomor 73 tahun 1978 tentang
Pendelegasian wewenang kepada kepala
kantor wilayah departemen agama propinsi/setingkat diseluruh Indonesia untuk
mengangkat/memberhentikan setiap Kepala KUA Kecamatan sebagai pejabat pembuat
akta ikrar wakaf. Keenam, Intruksi Menteri Agama RI nomor 3 tahun 1979
tanggal 19 juni 1979 tentang petunjuk pelaksanaan Keputusan Menteri Agama nomor
73 tahun 1978. Ketujuh, Surat Dirjen Bimas Islam dan Urusan Haji nomor
D.Ii/5/07/1981 tanggal 17 februari 1981 kepada Gubernur KDH tk. I di seluruh
Indonesia, tentang pendaftaran perwakafan tanah milik dan permohonan keringanan
atau pembebasan dari semua pembebanan biaya pendaftaran.
Eksistensi perwakafan di Indonesia diperkuat
lagi dengan lahirnya UU no 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama. Selanjutnya
sebagai hokum materiil pemerintah telah mengeluarkan Kompilasi Hokum Islam.
Setelah sekian lama menunggu, pada tanggal 27 oktober 2004 Presiden Susilo
Bambang Yudoyono mengesahkan UU no 41 tahun 2004 tentang wakaf, Lembaran Negara
RI tahun 2004 nomor 159.
3.
Penyelesaian
Perselisihan Harta Wakaf
a.
Penyelesaian
perselisihan
Pasal 12 PP no 28 tahun
1977 jo. Pasal 49 ayat 1 UU no 7 tahun 1989 menegaskan bahwa perselisihan harta
wakaf, disalurkan melalui pengadilan agama setempat yang mewilayahi benda wakaf
tersebut. Pasal 17 peraturan menteri agama nomor 1 tahun 1978 pasal 17
menyatakan:
Pengadilan agama yang mewilayahi tanah wakaf
berkewajiban menerima dan menyelesaikan perkara tentang perwakafan tanah
menurut syariat islam yang antara lain mengenai:
Ø
wakaf, wakif, nadzir,ikrar
dan saksi
Ø
bayyinah (alat bukti
administrasi tanah wakaf)
Ø
pengelolaan dan
pemanfaatan hasil wakaf.
Pengadilan agama dalam
melaksanakan ketentuan ayat (1) pasal ini berpedoman pada tata cara
penyelesaian perkara pada peradilan agama.
Mengenai teknis dan
tata cara pengajuan gugatan ke pengadilan agama, dilakukan menurut ketentuan
yang berlaku. Kemudian pasal 229 kompilasi menegasan: hakim dalam menyelesaikan
perkara-perkara yang diajukan kepadanya wajib memperhatikan dengan sungguh-sumgguh
nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat, sehingga putusannya sesuai
dengan rasa keadilan”.
4. Penyelesaian Sengketa dan Pidana dalam Perwakafan
Bagaiman cara
penyelesaian terhadap sengketa wakaf? Dalam UU no 1 tahun 2004 tentang wakaf
disebutkan bahwa penyelesaian tentang sengketa perwakafan ditempuh melalui
musyawarah untuk mencapai mufakat. Namun apabila penyelesaian sengketa ini
tidak berhasil, sengketa dapat diselesaikan melalui mediasi, arbitrase,atau
pengadilan.
Penyelesaian
perselisihan yang menyangkut persoalan kasus-kasus harta benda wakaf diajukan
kepada pengadilan agama dimana harta benda wakaf dan Nazhir itu berada, sesuai
dengan peraturan perundang-undanagan yang berlaku. Dengan demikian, jelaslah
masalah-masalah lainnya yang secara nyata menyangkut hukum perdata, sedangkan yang terkait
dengan hokum pidana diselesaikan melalui hokum acara dalam pengadilan negeri.
Selain masalah
penyelesaian sengketa, UU wakaf juga mengatur ketentuan pidana umum terhadap
penyimpangan benda wakaf dan pengelolaannya sebagai berikut:
a.
Bagi yang dengan
sengaja menjaminkan, menghibahkan, menjual, mewariskan, mengalihkkan dalam
bentuk pengalihan hak lainnya tanpa izin di pidana penjara paling lama 5 tahun
dan/atau pidana denda paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
b.
Bagi yang dengan
sengaja mengubah peruntukan harta benda wakaf tanpa izin dipidana penjara
paling lama 4 tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp 400.000.000,00(empat
ratus juta rupiah).
c.
Bagi yang dengan
sengaja menggunakan atau mengambil fasilitas atau hasil pengelolaan dan
pengembangan harta benda wakaf melebihi jumlah yang ditentukan, dipidana dengan
pidana penjara paling lama 3 tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp
300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah).
Ketentuan pidana
merupakan suatu keharurusan dalam sebuah peraturan perundangan yang mengatur
tentang suatu persoalan di negeri kita. Dalam sebuah UU harus mencantumkan
ketentuan khusus mengenai sanksi pidana sebagai penguat dan jaminan agar supaya
peraturan dimaksud dilaksanakan sebagaimana mestinya.
Namun, untuk
memaksimalkan peran Peradilan Agama nampaknya perlu difungsikan sebagai
Peradilan Syariah bagi setiap Warga Negara pemeluk agama Islam dalam kacamata
hokum komprehensif. Dalam kedudukannya diatas, Peradilan Agama harus
diberdayakan sebagai payung hokum bagi umat Islam dalam penyelesaian semua
kasus-kasus perdata dan pidana yang berkaitan dengan hukum muamalat.
Dengan adanya ketentuan
tersebut maka pelaksanaan perwakafan (khususnya tanah) sudah ditentukan secara
pasti dimana penyimpangan terhadap ketentuan itu sudah dapat dituntut sebagai
tindak pidana.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Menurut Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1974 Pasal 1, Perkawinan adalah : “Ikatan lahir bathin antara
seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk
keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha
Esa”
Adapun mengenai
syarat-syarat dan rukun pernikahan telah disebutkan di atas.
Sedangkan Hukum warisan
adalah hukum yang mengatur tentang
pemindahan hak pemilik harta peninggalan (tirkah) pewaris, menentukan
siapa-siapa yang berhak menjadi ahli waris dan berapa bagian masing-masing”.
Unsur-unsur yang
terdapat dalam hukum waris :
1.
Kaidah hukum
2.
Pemindahan kekayaan
3.
Ahli waris
4.
Dan bagian yang
diterima
Sedangkan wakaf adalah
sejenis pemberian yang pelaksanaannya dilakukan dengan jalan menahan
(pemilikan) asal (tahbisul ahli)lalu menjadiakan manfaatnya berlaku umum.
Pengertian cara pemanfaatannya adalah menggunakan sesuai dengan kehendak
pemberi wakaf tanpa imbalan.
B. Saran
Semoga dengan adanya
pembahasan makalah kami dapat menjadi masukan dan sumber inspirasi bagi semua
orang dan semoga bermanfaat. Kami menyadari sepenuhnya bahwa kami hanyalah
manusia biasa yang tak luput dari salah dan lupa, oleh sebab itu kami sadar
bahwa makalh ini masih jauh dari kesempurnaan. Untuk itu kami sangat harapkan
kritik dan saran yang membangun dari semua pihak terutama dari dosen yang
bersangkutan, agar kedepannya dapat membuat yang lebih baik.
DAFTAR PUSTAKA
Ali, Zaimudin.2006. Hukum
Perdata Islam Indonesia . Jakarta:Sinar Grafika.
Asmawi, Mohammad.2004. Nikah dalam
Perbincangan dan Perbedaan. Yogyakarta: Darussalam
Perum Griya Suryo.
Halim, Abdul, Hukum Perwakafan di Indonesia, Ciputat: Ciputat Press,2005
Manan, Abdul, Aneka Masalah Hukum
Perdata Islam di Indonesia, Jakarta: Kencana, 2006
Rofiq, Ahmad, Hukum Islam di Indonesia, Jakarata; Raja Grafindo Persada,2003
Zainuddin Ali, Pelaksanaan Hukum Waris di Indonesia,
(Jakarta: Sinar Grafika, 2008), h. 86
Tidak ada komentar:
Posting Komentar