Blogger Widgets

Translate

Minggu, 22 Juni 2014

analisis dongeng



BAB I
PENDAHULUAN
LATAR BELAKANG
cerita rakyat bukan hanya sebagai dongeng pengantar tidur di malam hari, akan tetapi juga merupakan suatu asset yang berharga karena di dalam cerita tersebut sarat mengandung pesan-pesan moral yang secara tidak langsung di ajarkan kepada anak ketika mendengarkan cerita tersebut.

Beberapa crita rakyat ini ada yang mengatakan adalah kejadian nyata di Indonesia dan ada juga yang mengatakan hanya sebatas legenda saja. Namun terlepas dari benar atau tidaknya sebuah legenda jika di dalamnya terdapat manfaat yang dapat kita ajarkan kepada penerus bangsa saya kira sah-sah saja untuk menceritakannya kembali.
Pada tugas kali ini saya akan mencoba menganalisis tiga dongeng dari Indonesia yaitu cerita bawang merah dan bawang putih, asal usul garam dan juga cerita si gale-gale. Pada analisis ini saya akan mencoba mencari dan mengungkit-ungkit tentag budi perkerti yang berangsur angsur lenyap dari dunia ini. Di samping itu juga saya akan coba mengkaitkan cerita ini dengan pendidikan dan edukasi.







BAB II
Jaman dahulu kala di sebuah desa tinggal sebuah keluarga yang terdiri dari Ayah, Ibu dan seorang gadis remaja yang cantik bernama bawang putih. Mereka adalah keluarga yang bahagia. Meski ayah bawang putih hanya pedagang biasa, namun mereka hidup rukun dan damai. Namun suatu hari ibu bawang putih sakit keras dan akhirnya meninggal dunia. Bawang putih sangat berduka demikian pula ayahnya.
Di desa itu tinggal pula seorang janda yang memiliki anak bernama Bawang Merah. Semenjak ibu Bawang putih meninggal, ibu Bawang merah sering berkunjung ke rumah Bawang putih. Dia sering membawakan makanan, membantu bawang putih membereskan rumah atau hanya menemani Bawang Putih dan ayahnya mengobrol. Akhirnya ayah Bawang putih berpikir bahwa mungkin lebih baik kalau ia menikahi saja ibu Bawang merah supaya Bawang putih tidak kesepian lagi. Maka ayah Bawang putih kemudian menikah dengan ibu Bawang merah. Mulanya ibu Bawang merah dan bawang merah sangat baik kepada Bawang putih. Namun lama kelamaan sifat asli mereka mulai kelihatan. Mereka kerap memarahi bawang putih dan memberinya pekerjaan berat jika ayah Bawang Putih sedang pergi berdagang. Bawang putih harus mengerjakan semua pekerjaan rumah, sementara Bawang merah dan ibunya hanya duduk-duduk saja. Tentu saja ayah Bawang putih tidak mengetahuinya, karena Bawang putih tidak pernah menceritakannya.
Suatu hari ayah Bawang putih jatuh sakit dan kemudian meninggal dunia. Sejak saat itu Bawang merah dan ibunya semakin berkuasa dan semena-mena terhadap Bawang putih. Bawang putih hampir tidak pernah beristirahat. Dia sudah harus bangun sebelum subuh, untuk mempersiapkan air mandi dan sarapan bagi Bawang merah dan ibunya. Kemudian dia harus memberi makan ternak, menyirami kebun dan mencuci baju ke sungai. Lalu dia masih harus menyetrika, membereskan rumah, dan masih banyak pekerjaan lainnya. Namun Bawang putih selalu melakukan pekerjaannya dengan gembira, karena dia berharap suatu saat ibu tirinya akan mencintainya seperti anak kandungnya sendiri.
Pagi ini seperti biasa Bawang putih membawa bakul berisi pakaian yang akan dicucinya di sungai. Dengan bernyanyi kecil dia menyusuri jalan setapak di pinggir hutan kecil yang biasa dilaluinya. Hari itu cuaca sangat cerah. Bawang putih segera mencuci semua pakaian kotor yang dibawanya. Saking terlalu asyiknya, Bawang putih tidak menyadari bahwa salah satu baju telah hanyut terbawa arus. Celakanya baju yang hanyut adalah baju kesayangan ibu tirinya. Ketika menyadari hal itu, baju ibu tirinya telah hanyut terlalu jauh. Bawang putih mencoba menyusuri sungai untuk mencarinya, namun tidak berhasil menemukannya. Dengan putus asa dia kembali ke rumah dan menceritakannya kepada ibunya.
“Dasar ceroboh!” bentak ibu tirinya. “Aku tidak mau tahu, pokoknya kamu harus mencari baju itu! Dan jangan berani pulang ke rumah kalau kau belum menemukannya. Mengerti?”
Bawang putih terpaksa menuruti keinginan ibun tirinya. Dia segera menyusuri sungai tempatnya mencuci tadi. Matahari sudah mulai meninggi, namun Bawang putih belum juga menemukan baju ibunya. Dia memasang matanya, dengan teliti diperiksanya setiap juluran akar yang menjorok ke sungai, siapa tahu baju ibunya tersangkut disana. Setelah jauh melangkah dan matahari sudah condong ke barat, Bawang putih melihat seorang penggembala yang sedang memandikan kerbaunya. Maka Bawang putih bertanya: “Wahai paman yang baik, apakah paman melihat baju merah yang hanyut lewat sini? Karena saya harus menemukan dan membawanya pulang.”
“Ya tadi saya lihat nak. Kalau kamu mengejarnya cepat-cepat, mungkin kau bisa mengejarnya,” kata paman itu.
“Baiklah paman, terima kasih!” kata Bawang putih dan segera berlari kembali menyusuri tepi sungai.
Hari sudah mulai gelap, Bawang putih sudah mulai putus asa. Sebentar lagi malam akan tiba, dan Bawang putih. Dari kejauhan tampak cahaya lampu yang berasal dari sebuah gubuk di tepi sungai. Bawang putih segera menghampiri rumah itu dan mengetuknya.
“Permisi…!” kata Bawang putih. Seorang perempuan tua membuka pintu.
“Siapa kamu nak?” tanya nenek itu.
“Saya Bawang putih nek. Tadi saya sedang mencari baju ibu saya yang hanyut. Dan sekarang kemalaman. Bolehkah saya tinggal di sini malam ini?” tanya Bawang putih.
“Boleh nak. Apakah baju yang kau cari berwarna merah?” tanya nenek.
“Ya nek. Apa…nenek menemukannya?” tanya Bawang putih.
“Ya. Tadi baju itu tersangkut di depan rumahku. Sayang, padahal aku menyukai baju itu,” kata nenek. “Baiklah aku akan mengembalikannya, tapi kau harus menemaniku dulu disini selama seminggu. Sudah lama aku tidak mengobrol dengan siapapun, bagaimana?” pinta nenek.
Bawang putih berpikir sejenak. Nenek itu kelihatan kesepian. Bawang putih pun merasa iba.
“Baiklah nek, saya akan menemani nenek selama seminggu, asal nenek tidak bosan saja denganku,” kata Bawang putih dengan tersenyum.
Selama seminggu Bawang putih tinggal dengan nenek tersebut. Setiap hari Bawang putih membantu mengerjakan pekerjaan rumah nenek. Tentu saja nenek itu merasa senang. Hingga akhirnya genap sudah seminggu, nenek pun memanggil bawang putih.
“Nak, sudah seminggu kau tinggal di sini. Dan aku senang karena kau anak yang rajin dan berbakti. Untuk itu sesuai janjiku kau boleh membawa baju ibumu pulang. Dan satu lagi, kau boleh memilih satu dari dua labu kuning ini sebagai hadiah!” kata nenek.
Mulanya Bawang putih menolak diberi hadiah tapi nenek tetap memaksanya. Akhirnya Bawang putih memilih labu yang paling kecil. “Saya takut tidak kuat membawa yang besar,” katanya. Nenek pun tersenyum dan mengantarkan Bawang putih hingga depan rumah.
Sesampainya di rumah, Bawang putih menyerahkan baju merah milik ibu tirinya sementara dia pergi ke dapur untuk membelah labu kuningnya. Alangkah terkejutnya bawang putih ketika labu itu terbelah, didalamnya ternyata berisi emas permata yang sangat banyak. Dia berteriak saking gembiranya dan memberitahukan hal ajaib ini ke ibu tirinya dan bawang merah yang dengan serakah langsun merebut emas dan permata tersebut. Mereka memaksa bawang putih untuk menceritakan bagaimana dia bisa mendapatkan hadiah tersebut. Bawang putih pun menceritakan dengan sejujurnya.
Mendengar cerita bawang putih, bawang merah dan ibunya berencana untuk melakukan hal yang sama tapi kali ini bawang merah yang akan melakukannya. Singkat kata akhirnya bawang merah sampai di rumah nenek tua di pinggir sungai tersebut. Seperti bawang putih, bawang merah pun diminta untuk menemaninya selama seminggu. Tidak seperti bawang putih yang rajin, selama seminggu itu bawang merah hanya bermalas-malasan. Kalaupun ada yang dikerjakan maka hasilnya tidak pernah bagus karena selalu dikerjakan dengan asal-asalan. Akhirnya setelah seminggu nenek itu membolehkan bawang merah untuk pergi. “Bukankah seharusnya nenek memberiku labu sebagai hadiah karena menemanimu selama seminggu?” tanya bawang merah. Nenek itu terpaksa menyuruh bawang merah memilih salah satu dari dua labu yang ditawarkan. Dengan cepat bawang merah mengambil labu yang besar dan tanpa mengucapkan terima kasih dia melenggang pergi.
Sesampainya di rumah bawang merah segera menemui ibunya dan dengan gembira memperlihatkan labu yang dibawanya. Karena takut bawang putih akan meminta bagian, mereka menyuruh bawang putih untuk pergi ke sungai. Lalu dengan tidak sabar mereka membelah labu tersebut. Tapi ternyata bukan emas permata yang keluar dari labu tersebut, melainkan binatang-binatang berbisa seperti ular, kalajengking, dan lain-lain. Binatang-binatang itu langsung menyerang bawang merah dan ibunya hingga tewas. Itulah balasan bagi orang yang serakah.
B.     ANALISIS DONGENG BAWANG MERAH DAN BAWANG PUTIH
Cerita ini berasal dari daerah jawa dan terkenal didaerah lainnya, di dalam cerita ini mengandung dua tokoh yaitu tokoh baik dan tokoh jahat. Tokoh baik di perankan oleh bawang putih sedangkan tokoh jahat di perankan oleh bawang merah dan ibunya.
Prinsip moral yang dapat kita tiru dalam cerita ini adalah sifat rajin dalam mengerjakan sesuatu sebagaimana bawang putih, meskipun dia di perlakukan kasar oleh saudara tirinya, adapun sifat yang patut kita jauhi adalah sifat rakus dan serakah seperti sifatnya bawang merah dalam mengambil labu, akibatnya dia terkena celaka.
Tersebutlah keadaan anak gadis petani yang tinggal di pondok dalam hutan yang pernah disinggahi Aji Saka ketika baru saja mendarat di Pulau Jawa. Sepeninggal Aji Saka, gadis tadi menjadi hamil akibat memangku pisau milik tamunya itu.
Mungkin tangkai pisau yang hilang itulah yang kemudian menjelma menjadi kandungan dalam perut gadis tersebut.
Setelah genap usia kandungan gadis tersebut maka lahirlah anaknya. Tetapi yang mengherankan anak yang lahir dari rahim gadis anak petani tadi tidak berujud bayi seperti halnya anak manusia pada umumnya melainkan berujud seekor anak ular.
Sebenarnya keluarga petani itu merasa malu mempunyai cucu seekor ular itu tetapi apa boleh buat, mengkin sudah suratan takdirnya harus begitu, demikian piker mereka. Untunglah mereka tinggal di tengah hutan, jauh dari keramaian manusia sehingga tidak ada orang lain yang mengetahui hal tersebut.
Ular itu dipelihara baik-baik oleh keluarga petani dan dinamakan Baruklinting. Setelah dewasa berpikirlah ia mengapa di pondok yang mereka tempati itu penghuninya hanya terdiri dari kakek, nenek, ibunya, dan dia sendiri. Lalu di manakah ayahnya dan bagaimana ujud ayahnya itu, apakah berbentuk manusia atau ular? Sampai berapa lama Baruklinting belum berhasil mengetahui rahasia keluarganya itu. Akhirnya ia memberanikan diri untuk bertanya kepada ibunya tentang masalah tersebut. Dari ibunya itu didapatlah keterangan tentang dirinya dan asal mulanya ia lahir, yaitu sejak Aji Saka bertamu di pondoknya. Dan diceriterakan pula bahwa ayahnya, Si Aji Saka kini telah menjadi raja besar yang memerintah negeri Medangkamulan bergelar Prabu Jaka. Dari keterangan ibunya itu tahulah kini bahwa ia sebenarnya adalah anak seorang raja. Maka bermaksudlah ia akan menemui ayahnya. Ketika ia mengemukakan keinginannya tersebut kepada seisi pondok mula-mula tidak disetujui. Mereka khawatir kalau Prabu Jaka tidak mengakui Baruklinting sebagai anaknya. Tetapi Baruklinting terus mendesak sehingga akhirnya mereka tidak melarang lagi. Pada hari yang telah ditentukan berangkatlah Baruklinting menuju istana Prabu Jaka. Sampai di pintu gerbang istana, Baruklinting ditanya oleh penjaga. Kepada penjaga itu diterangkan bahwa sesungguhnya ia adalah putera Prabu Jaka dan maksud kedatangannya itu adalah untuk menemui ayahnya yang selama ini belum pernah ia lihat.
Penjaga itu lalu menghadap Prabu Jaka untuk melaporkan kedatangan Baruklinting. Sang Prabu tatkala menerima laporan dari penjaga lalu teringat peristiwa beberapa tahun yang lalu yaitu ketika hilangnya tangkai pisau dari pangkauan anak gadis pemilik pondok yang ditumpanginya. Dalam hatinya Sang Prabu telah menduga bahwa ular yang datang itu adalah anaknya, tetapi beliau merasa malu untuk mengakui ular itu sebagai anaknya. Kemudian dititahkan kepada penjaga agar Baruklinting dibawa menghadap. Penjaga itu lalu menyembah, dan sesudah it uterus mundur. Dan tidak berapa lama kemudian penjaga itu telah menghadap lagi bersama Baruklinting. Sang Prabu Jaka menanyai Baruklinting, siapa ia sebenarnya serta apa maksud kedatangannya. Maka sembah Baruklinting, “Ampun Tuanku, menurut penuturan ibu hamba, yang kini tinggal di sebuah pondok dalah hutan hamba adalah putera paduka. Menurut ceriteranya dulu beberapa tahun yang lalu paduka pernah singgah di pondok tempat tinggal ibuku. Kemudian paduka meminjamkan pisau kepada ibuku dengan pesan agar pisau itu jangan sampai diletakkan di pangkuannya. Rupanya ibuku lupa akan pesan paduka itu karena dengan tidak disengaja pisau itu sehabis dipakai lalu diletakkan di pangkuannya. Sesudah itu terjadi suatu keajaiban, yaitu pisau tadi hilang tangkainya. Pisau yang tidak bertangkai itu lalu paduka ambil kemudian paduka terus meninggalkan pondok. Sepeninggal paduka, ibuku hamil dan setelah genap bulannya maka lahirlah hamba yang berujud ular ini. Adapun maksud kedatangan hamba menghadap paduka ini ialah ingin bertemu dengan paduka ayahanda karena seumur hidup belum pernah melihat ayahanda.”
Dalam hati Sang Prabu mengetahui kebenaran kata-kata Baruklinting tersebut tetapi beliau malu kepada para prajurit karena tidak wajar seorang manusia beranak ular. Maka untuk siasat menyingkirkan Baruklinting, Sang Prabu bersabda, “Jikalau engkau menghendaki agar saya akui sebagai anak maka terlebih dahulu engkau harus membuktikannya dengan suatu perbuatan yang sepadan dengan derajatmu sebagai seorang putera raja. Adapun tugas yang harus kau jalankan untuk pembuktian itu ialah kau harus mengalahkan buaya putih yang hingga saat ini menjadi penguasa lautan selatan. Ketahuilah bahwa buaya putih itu adalah musuh besarku dan ia telah bertekad akan membinasakan diriku.”
Selanjutnya Sang Prabu masih mengajukan syarat-syarat lagi, antara lain:
1.       Baruklinting pada waktu pergi dan pulang dari lautan selatan nanti harus menempuh jalan di bawah tanah dengan alas an supaya tidak merusak tanaman milik anak negeri.
2.       Jika sudah berhasil mengalahkan buaya putih nanti maka ia harus membawa pulang kepala musuhnya itu beserta air laut, rumput laut dan bermacam-macam jenis tumbuh-tumbuhan laut sebagai bukti bahwa ia benar-benar telah melakukan tugasnya.
Karena Baruklinting ingin sekali diakui sebagai putera Sang Prabu maka tugas yang berat it uterus disanggupi. Bagi dia pekerjaan semacam itu dapat dilaksanakannya.
Dalam hati Sang Prabu berkata, “Tentunya Baruklinting tidak akan mampu mengalahkan buaya putih yang sakti itu. Ia pasti binas dikalahkan buaya putih penjelmaan Dewatacengkar itu. Dengan demikian ia tidak akan kembali ke sini lagi. Berarti saya bebas, tidak perlu memenuhi janjiku.”
Adapun Baruklinting setelah menerima titah Sang Prabu terus berangkat ke lautan selatan lewat bawah tanah. Ia tidak merasa gentar menghadapi pekerjaan berat yang akan dilakukannya itu. Singkatnya, ia telah berhasil menemukan buaya putih dan terjadi perang tanding. Pertempuran itu cukup sengit sehingga menimbulkan gelombang laut yang besar. Akhirnya dengan suatu siasat Baruklinting berhasil mengalahkan buaya putih itu yang kemudian dibunuh. Kepalanya terus dipotong untuk dipersembahkan kepada Sang Prabu. Bersama dengan kepala itu dibawa pula air laut, rumput laut, dan bermacam-macam jenis tumbuh-tumbuhan laut sebagai bukti bahwa ia benar-benar telah melakukan tugasnya.
Setelah syarat-syarat itu terkumpul baruklinting lalu bersiap-siap akan kembali ke Keraton Medangkamulan. Seperti halnya pada waktu berangkat maka pada waktu pulang Baruklinting juga menempuh jalan bawah tanah. Karena terlalu lelah, dalam melakukan perjalanan jauh tambahan pula habis berkelahi serta membawa barang yang berat, maka Baruklinting bermaksud akan istirahat di atas tanah. Ia muncul di suatu tempat di permukaan bumi dan tempat itu lalu menjadi sumber penggaraman berupa belik atau sendang. Sampai sekarang tempat ini masih dapat dilihat letaknya di Desa Yono, Kecamatan Tawangharjo. Kabarnya di tempat ini tumbuh pohon luntas dan rumput grinting yang asalnya dari lautan selatan.
Setelah puas beristirahat, Baruklinting lalu masuk ke dalam tanah lagi akan meneruskan perjalanan. Ia berjalan ke arah timur dan sampai di suatu tempat. Di sini ia menjadi bingung dikiranya tempat itu tepat di bawah halaman istana Medangkamulan sehingga ia muncul di situ. Ternyata tempat itu bukan yang dimaksud. Tempat munculnya yang kedua kalinya ini menjadi sumber garam pula, sekarang dikenal dengan nama Desa Crewek. Baruklinting setelah mengetahui bahwa tempat tersebut bukan yang dimaksdu, lalu masuk lagi ke dalam tanah untuk meneruskan perjalanannya sehingga melampaui tempat yang sebenarnya akan dituju (ke banjur, Jawa) karena tidak tahu. Tempat munculnya yang ketiga kalinya ini disebut Desa banjur, berasal dari perkataan ke banjur. Desa ini kemudian menjadi sumber garam. Karena merasa keliru lagi, Baruklinting lalu masuk ke dalam tanah akan terus mencari. Setelah menempuh jarak yang cukup jauh akhirnya ia merasa sangat lelah dan tidak kuat meneruskan perjalanan lagi. Ia memutuskan untuk muncul ke permukaan bumi lagi dengan maksud akan beristirahat (bahasa Jawa kekuwon). Kemudian tempat munculnya yang terakhir ini dinamakan Desa Kuwu. Nama ini berasal dari perkataan ke kuwu. Desa Kuwu itu kemudian menjadi sumber garam pula dan merupakan sumber garam yang terbesar di antara sumber-sumber yang lain. Sampai di sini baruklinting tidak meneruskan perjalanannya lagi ke Medangkamulan. Rupanya ia telah menyadari bahwa Sang Prabu menitahkan untuk melakukan pekerjaan yang berat itu hanyalah suatu siasat belaka untuk menyingkirkan dirinya.
Demikianlah asal mula terjadinya sumber garam di daerah Kuwu dan sekitarnya yang konon ada hubungannya dengan perjalanan Aji Saka ke Tanah Jawa. Sampai sekarang sumber garam itu masih tetap berproduksi dan merupakan salah satu sumber mata pencaharian masyarakat setempat. Sedangkan nama-nama desa penghasil garam yang disebut dalam cerita ini pun sampai sekarang masih ada.
Adapun Desa Kuwu terletak di Kabupaten Grobokan, Jawa Tengah. Sumber garam ini oleh masyarakat setempat biasa di Bledug Kuwu, karena adanya suara semburan lumpur dari dalam tanah.

D.    ANALISIS DONGENG ASAL USUL GARAM
Seperti halnya cerita di atas, cerita tentang asal usul garam ini juga berasal dari daerah jawa, konon kabarnya cerita ini adalah cerita nyata.
Adapun pesan moral yang dapat kita analisis adalah perasaan malu dari sang raja yang tidak mengakui baruklinting sebagai anaknya, hal ini di karenakan wujud anaknya seperti ular sehingga sang raja malu memiliki anak berwujud ular.
E.    Legenda Sigale-gale
Pada masa yang silam, apabila seorang terkemuka meninggal sebelum mempunyai anak sebagai penyambung keturunan, dianggap merupakan kesialan. Untuk mencegah supaya nestapa seperti itu tidak berulang kembali, maka diadakanlah tarian duka menggunakan boneka dari kayu.
Boneka tersebut bentuknya seperti manusia, kepalanya dilumuri dengan kuning telur. Giginya dicat hitam menggunakan jelaga baja, pada lekuk mata dilekatkan buah berwarna merah. Boneka diberi pakaian ulos Batak, di atas kepalanya dilekatkan rambut kuda atau ijuk, atau diberi ikat kepala. Selanjutnya boneka diletakkan di atas papan beroda, lalu ditarik berkeliling kampung. Kaum kerabat memeluk boneka sambil menangis tersedu-sedu, sebagai tanda perpisahan untuk selamanya. Jika boneka duka diarak di kala terang bulan, akan membawa suatu perasaan pilu dan mengharukan. Pada malam terakhir acara tari-tari duka itu, boneka dibawa keluar kampung, lalu dicampakkan ke Danau Toba, maksudnya supaya di masa yang akan datang, tidak berulang lagi nasib seperti yang dialami oleh keluarga yang malang itu.
Sigalegale adalah sebuah patung yang terbuat dari kayu. Konon, kayu yang digunakan untuk membuat patung tersebut adalah “Hau Pokki” (Kayu Pokki). Di daerah Kalimantan, kayu tersebut dikenal dengan sebutan “Kayu Ulin” (Kayu Besi). Berdasarkan informasi yang ada, pada tahun 1980-an, Sigalegale dimainkan dengan diiringi Gondang Hasapi (Alat musik yang menggunakan alat musik kecapi, dan dalam memainkan Gondang Kecapi ini sangat diperlukan unsur perasaan. Alasannya adalah karena Gondang Kecapi ini terkesan lebih syahdu dan lembut) dan bukan Gondang Bolon (Alat musik yang tidak menggunakan alat musik kecapi) dan tidak lagi mengandung unsur mistis. (Dulu, pada waktu Dr. I. L. Nommensen datang ke tanah Batak, Gondang Bolon tersebut adalah salah satu kebudayaan yang sangat ditentang oleh Nommensen dari sekian banyak kebudayaan lainnya, karena dulu pemakaian Godang Bolon tersebut identik dengan magis atau mistik). Pertunjukan Sigalegale pun sudah menggunakan tali yang kemudian ditarik oleh dua orang dalang dan lima orang pemain musik.
Seiring dengan majunya zaman, apalagi di zaman sekarang ini, maka dengan sendirinya pemikiran manusia pun akan berubah, terutama dalam hal kebudayaan. Akhirnya, keinginan masyarakat untuk menyaksikan pertunjukan Sigalegale pun semakin berkurang dan dalang yang memainkan Sigalegale ini pun berkurang menjadi satu orang dan alat musik yag digunakan pun menjadi alat musik yang sudah dikasetkan.
Tidak ada sumber yang pasti untuk legenda Sigalegale ini. Banyak versi yang beredar untuk menceritakan legenda tersebut. Namun semuanya itu mengandung makna dan pesan yang sama. Untuk itu kami memilih beberapa cerita yang memiliki cerita yang memiliki kesamaan dan juga lebih menyentuh kepada kepercayaan dan kebatinan.
Menurut cerita dari bapak Jimmy Sigiro seorang dalang patung Sigalegale asal mula boneka duka (Sigalegale) itu adalah sebagai berikut:
Sekitar ± 300 tahun yang lalu, seorang keturunan si Raja Batak yaitu Raja Rahat yang konon adalah seorang raja yang kaya dan memiliki banyak tanah yang berada ± 50 Km dari Tomok, di sekitar pegunungan Desa Lumban Suhi (saat ini kerajaan itu sudah tidak terlihat lagi). Si Raja Rahat hanya memiliki satu orang anak saja yaitu si Raja Manggele. Pada usianya yang menjelang dewasa, ± 15 – 16 tahun, si Raja Rahat memerintah si Raja Manggele untuk memperluas daerah kekuasaannya, yang mana dalam hal itu mereka harus berperang. Menurut cerita, si Raja Manggele adalah seorang anak yang patuh kepada orang tuanya, sehingga dia pun menyanggupi perintah ayahnya tersebut.
Kemudian ia bergegas pergi ke daerah yang hendak dikuasai, bersama dengan prajurit-prajurit ayahnya. Melihat semangat si Raja Manggele, si Raja Rahat sangat senang melihat anaknya dan ia sangat mengasihi si Raja Manggele. Namun, kebahagiaan dan kesenangan itu tidak bertahan lama. Dalam peperangan itu Raja Manggele terkena musibah. Ia terkena panah sehingga terluka cukup parah. Pada saat itu, Raja Manggele masih sempat bertahan dan masih sempat diobati oleh “datu-datu (Dukun)”. Namun sangat disayangkan, usaha para datu tersebut ternyata sia-sia. Mereka tidak mampu untuk mengobati luka yang dideritanya, sehingga si Raja Manggele pun meninggal. Berita kematian Raja Manggele itu tersiar ke seluruh lapisan masyarakat. Kemudian sampailah kabar ini kepada si Raja Rahat dan ia pun sangat terkejut dan sangat menyesal karena telah menyuruh anaknya untuk ikut berperang. Setiap hari si Raja Rahat hanya bisa menangis. Ia prustasi dan bahkan kelihatan layaknya seperti orang gila. Si Raja Rahat menyalahkan dirinya karena ia yang telah mengakibatkan semua itu. Setiap hari si Raja Rahat hanya bisa meratap dan terdiam mengingat kejadian itu.
Pada saat itu sistem kehidupan masyarakat adalah apabila seorang raja mengalami musibah maka dengan sendirinya, masyarakat pun ikut sedih. Di kemudian hari, datanglah seorang datu kehadapan si Raja Rahat. Dia mencoba menghibur raja dengan mengusulkan untuk membuatkan baginya sebuah patung yang konon akan dibuat menyerupai wajah Raja Manggele, anaknya. Raja setuju dan proses pembuatan pun dilakukan. Namun datu itu tidak berhasil karena dia tidak memiliki kekuatan naturalis yang cukup untuk membuat patung itu. Akhirnya, ia mengumpulkan datu-datu besar sebanyak enam orang. (Menurut cerita dari Bapak Jimmy Sigiro, salah satu dari para datu yang membuat patung tersebut adalah marga Sinaga yang sampai saat ini masih hidup). Dengan ilmu kebatinan yang mereka miliki, mereka mencoba memahat kayu dan membuatnya persis menyerupai si Raja Manggele. Konon para datu tersebut tidaklah mengenal si Raja Manggele, namun dengan ilmu kebatinan yang mereka miliki, mereka mampu membuat sebuah boneka manusia yang terbuat dari kayu yang mirip dengan si Raja Manggele. Kemudian patung si Raja Manggele itu dipakaikan ulos serta tali pengikat kepala dengan tiga macam warna yaitu merah, hitam dan putih.
Setelah semuanya siap, kemudian patung si Raja Manggele tersebut dimasukkan kedalam peti. Hal itu dilakukan untuk masuk kedalam tahap berikutnya yaitu untuk menghidupkan patung itu. Ketujuh datu dengan bantuan pemain musik “Gondang Bolon” memanggil jiwa si Raja Manggele untuk merasuki patung tersebut. Kemudian, patung itu dapat bangkit dari peti itu dan patung tersebut mampu untuk menggerak-gerakkan badannya layaknya manusia (manortor). Gondang yang dipakai untuk memulainya adalah dimulai dari “Gondang Mulamula” sampai dengan “Gondang Hasahatan”. Melihat keberhasilan itu, akhirnya mereka berembuk untuk mempertunjukkan patung tersebut di hadapan si Raja Rahat. Kemudian mereka pun pergi ke halaman rumah si Raja Rahat dan mereka pun mulai membangunkan patung tersebut dengan bantuan alat musik Gondang Bolon. Di saat si Raja Rahat mendengar suara gondang tersebut, ia keluar dan turun ke halaman rumahnya untuk melihat apa yang sedang terjadi. Setelah melihat patung tersebut bisa “manortor” dan menyerupai anaknya si Raja Manggele, si Raja Rahat sangat senang melihat hal tersebut dan ia pun mulai tersenyum bahagia karena ia masih bisa merasakan anaknya seolah-olah hidup kembali. Oleh karena hal itu si Raja Rahat pun kemudian mengucapkan terimakasih kepada para datu yang telah berhasil membuat patung yang menyerupai anaknya itu. Si Raja Rahat pun menyimpan patung itu di dalam rumahnya. Sesekali, jika Raja rindu dengan anaknya si Raja Manggele, ia kembali memanggil ketujuh datu itu untuk mempertunjukkan dan mempertontonkannya di tengah-tengah masyarakat. Dengan melihat patung itu dapat “manortor” dengan lemah gemulai mengikuti irama gondang yang dimainkan oleh para datu, patung itu pun berubah nama yang dulunya adalah si Raja Manggele, kemudian diberi nama “Sigalegale”.
Sedangkan versi dari buku Batak Toba Kehidupan di Balik Tembok Bambu mengisahkan ceritanya adalah sebagai berikut.
Di dalam sebuah kampung di Toba, terjadi duka yang sangat dalam karena putra, tunggal seorang pemimpin yang terpandang meninggal dunia. Ayahnya sangat terpukul, karena tidak ada lagi anaknya yang akan meneruskan keturunan. Bagi orang Batak yang menganut paham patriarchal, kematian anak laki-laki satu-satunya itu berarti punahnya sebuah cabang keluarga. Si ayah sangat sedih dan sangat rindu kepada anaknya yang sudah meninggal, siang dan malam dia mengharapkan kalau saja dapat menatap wajah anaknya barang sekali saja. Pada suatu hari dia mengambil sepotong kayu dan mengukir patung manusia, bentuk dan corak wajahnya sangat menyerupai anaknya. Untuk mengenang putranya yang berumur pendek itu, ia menggerak-gerakkan boneka kayu tersebut sebagaimana ia pernah lakukan ketika anaknya masih hidup. Setiap bulan purnama menampakkan diri dan bintang-bintang bertaburan di langit, si ayah duduk di depan rumah dikelilingi oleh penduduk kampung. Dia menarik-narik lengan dan anggota tubuh boneka kayunya, sehingga kelihatan seperti orang yang sedang menari-nari. Semua yang hadir merasa iba dan turut bersedih hati. Para pria terenyak menyaksikan hal tersebut tanpa mengucapkan sepatah kata karena turut bersedih., Ibu-ibu sambil duduk ikut menangis tersedu-sedu, karena anak tunggal itu telah pergi dan tidak akan pernah kembali lagi.
Tarian boneka duka itu berlanjut terus dari waktu ke waktu, dan ditiru oleh orang-orang yang mengalami penderitaan yang sama seperti si ayah, suatu cara melampiaskan kerinduan kepada putranya yang sudah tiada.
Semakin lama boneka duka semakin disempurnakan, wajahnya diperindah, tariannya juga dibuat bertambah gemulai. Tarian boneka duka semakin bertambah lentik tak ubahnya seperti kupu-kupu yang sedang mengibas-ngibaskan sayapnya, dan boneka itu diberi nama Sigalegale (gale artinya lemah, tetapi dapat juga diartikan lentur-gemulai, karena jari-jarinya bergerak cekatan seperti penari serimpi).
Lama kelamaan Sigalegale tidak berfungsi hanya sebagai pelipur lara mengenang anak yang sudah tiada, tetapi juga berfungsi untuk menangkal malapetaka dan mengusir hal-hal yang buruk (papurpur sapata).
Sigalegale yang terbuat dari patung kayu, menggambarkan seorang manusia lengkap dengan tangan dan kaki yang dapat digerak-gerakkan. la berdiri di atas sebilah papan kayu yang mempunyai roda, sehingga dapat ditarik maju-mundur. Kepala boneka tersebut juga terbuat dari kayu (bentuknya tidak begitu halus), tetapi matanya dari logam (seng). Wajahnya dibungkus dengan kapur putih yang dilumuri dengan kuning telur bercampur kunyit. Di atas kepalanya dililitkan sejenis ulos, yang disebut tali-tali. Leher patung yang bentuknya seperti alu, dimasukkan ke dalam sebuah tiang atau pasak yang sudah diberi lubang, sehingga leher dan kepala dapat berputar ke segala arah. Pada badan boneka diikatkan dua tangan dari kayu berwarna cokelat tua; siku dan pangkal bahu dapat digerak-gerakkan ke atas maupun ke bawah, demikian juga jari-jarinya sangat lentur bila menari. Seorang pemegang tali kendali, duduk di belakang Sigalegale; dengan piawainya dia dapat menggerak-gerakkan seluruh tubuh boneka tersebut mulai dari kepala, tangan dan bahu.
Orang Batak yang animis percaya, orang yang meninggal tanpa keturunan akan masuk ke dalam Banua Toru bersama begu (roh jahat) yang derajatnya paling rendah. Mereka tidak diberi nama. Di alam begu, derajat seorang roh sangat tergantung pada jenis dan banyaknya sesajen yang dipersembahkan keturunan atau keluarga kepadanya. Jika tidak ada keturunan yang mempersembahkan sesajen atau kurban kepada orang yang meninggal, maka derajatnya di dunia roh dianggap rendah dan tidak mungkin melebihi roh-roh lain. Akibatnya dia akan disamakan dengan roh jahat yang hina-dina. Supaya roh tersebut tidak sakit hati dan menaruh dendam kepada keluarganya yang tidak mempersembahkan kurban secara rutin, keluarganya berusaha memperdaya roh jahat. Diciptakan sebuah boneka kayu yang diberi peran sebagai anak kandung almarhum. Di atas mata boneka tersebut, ditempelkan lumut berisi air dan jika ditekan akan mengeluarkan air, seakan-akan air matanya jatuh bercucuran. Patung kayu itu dibuat seakan-akan dia adalah anak kandung almarhum yang sedang meratapi ayahnya. Dia menari dengan menggerakkan jari-jarinya yang lemah gemulai sehingga roh jahat terkecoh, dan mengira bahwa yang menari tersebut adalah anak almarhum. Selama acara kematian, boneka itu menari terus, maksudnya untuk memberi kedamaian kepada roh orang yang meninggal.
Jika seorang pria meninggal sebelum berumah tangga, berarti tidak mempunyai anak yang akan melanjutkan keturunannya. Di dunia roh dia akan dihina bahkan dikucilkan dari lingkungannya karena dianggap roh yang tidak berguna. Untuk menghiburnya supaya merasa aman dan damai, keluarga terdekat menempatkan sebuah joro (rumah tradisional dalam bentuk mini) di atas kuburannya. Pada joro itu digantungkan berbagai persembahan dan sesajen serta barang yang biasa dipakai almarhum sewaktu masih hidup. Lebih kurang dua bulan setelah kematian pria tersebut, diadakan pesta tarian Sigalegale di kampung. Semua keluarga dan sanak saudara serta seisi kampung diundang turut serta. Tamu-tamu disuguhi jamuan makan dan tuak yang berlimpah. Pesta itu berlangsung selama satu minggu, diiringi gondang Batak (orkes Batak). Sigalegale menari tiada henti-hentinya, di siang hari di bawah pohon hariara, di malam hari di udara terbuka diterangi bintang di langit. Pada hari terakhir tuan rumah membagi-bagikan daging kepada semua yang hadir. Sementara itu kepada Sigalegale dikenakan pakaian adat yang indah bertatakan perhiasan. Di pelataran kampung, Sigalegale menari terus diikuti “suhut (tuan rumah)”, beserta keluarga dan sanak saudara. Di penghujung acara semua yang hadir berpawai menuju kuburan, di barisan paling depan terlihat Sigalegale beserta joronya digotong beramai-ramai. Setelah tiba di makam, dipanjatkan doa takzim (tonggo-tonggo) memohon kepada roh leluhur supaya tidak terulang lagi nasib sial, meninggal sebelum memperoleh keturunan. Setelah selesai melakukan tugasnya, orang yang mengendalikan Sigalegale, bergegas pergi ke luar kampung; di sanalah dia mengasingkan diri selama satu malam. Tak seorang pun berani menampungnya di kampung, karena dianggap masih dirasuki oleh roh-roh orang mati yang belum puas dengan acara pesta kematian. Di kesunyian malam, roh-roh itu meninggalkannya tergeletak sendirian di lapangan terbuka.

F.      Analisis cerita sigale-gale
Perlu kita ketahui bahwa masyarakat Batak sangat kaya akan kebudayaan. Salah satunya adalah kebudayaan berupa legenda atau mitos. Legenda merupakan suatu cerita dari generasi ke generasi suatu bangsa atau suku, khususya masyarakat Batak. Legenda Sigalegale merupakan suatu warisan yang sangat berharga bagi orang Batak, karena dalam legenda tersebut tersimpan suatu bentuk kehidupan orang-orang Batak pada masa dulu dan tentunya masih memberi makna pada kehidupan sekarang dan akan datang.
Sigalegale yang pada saat ini menjadi sumber objek wisata di Tomok sesungguhnya dulu adalah suatu patung yang memiliki kesan magis dimana dalam pembuatannya itu digabungkan kekuatan batin tujuh orang dukun ternama pada masa itu sehingga patung itu dapat bergerak sendiri. Patung tersebut memberikan suatu pesan kehidupan yang menjunjung tinggi silsilah atau garis keturunan keluarga. Begitu besarnya kedudukan laki-laki dalam orang Batak sehingga patung Sigalegale tercipta sebagai ungkapan kesedihan yang mendalam dari keluarga yang kehilangan garis keturunannya.
Begitu juga dengan unsur-unsur yang digunakan untuk membuat sebuah patung. Bagi orang Batak, misalnya “kuning telur”, mempunyai arti tersendiri bagi orang Batak yaitu sebagai simbol kehidupan dan unsur kuning telur menunjukkan raut wajah yang cerah dan lebih hidup. Begitu juga dengan warna “putih, merah dan hitam”. Bagi orang Batak, warna-warna tersebut mempunyai arti tersendiri.
Ada umpama/umpasa orang Batak mengatakan: “Ompu Raja di jolo martungkot sialagundi; Angka na uli tinonahon ni angka ompunta na parjolo, siihuthonon ni hita angka na di pudi”. Maka dengan itu, kita sebagai orang Batak, hendaknya ikut berperan serta dalam melestarikan budaya kita dan menjunjung tinggi kebudayaan kita, karena hal itu sangatlah berharga bagi kita. Satu hal lagi umpama/umpasa orang Batak mengatakan: “Sinuan bulu, sibahen na las; Sinuan adat dohot uhum, sibahen na horas”. Dari umpama/umpasa tersebut kita bisa mengetahui bahwa, legenda-legenda atau mitos-mitos yang ada dalam orang Batak mempunyai tujuan yang baik bagi kita semua.












DAFTAR PUSTAKA
http://dongengkakrico.wordpress.com/cerita/cerita-rakyat-bawang-merah-bawang-putih/
Sri Sumarsih, BA, ____, Asal Mula Sumber Garam Kuwu: Cerita Rakyat dari Daerah Purwodadi, Grobogan, Jawa Tengah, Jakarta: Proyek Pengembangan Media Kebudayaan Ditjen Kebudayaan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI hal. 63-68.



[1] http://dongengkakrico.wordpress.com/cerita/cerita-rakyat-bawang-merah-bawang-putih/

Tidak ada komentar: