BAB I
PENDAHULUAN
LATAR BELAKANG
cerita rakyat bukan hanya sebagai dongeng pengantar
tidur di malam hari, akan tetapi juga merupakan suatu asset yang berharga
karena di dalam cerita tersebut sarat mengandung pesan-pesan moral yang secara
tidak langsung di ajarkan kepada anak ketika mendengarkan cerita tersebut.
Beberapa crita rakyat ini ada yang mengatakan adalah
kejadian nyata di Indonesia dan ada juga yang mengatakan hanya sebatas legenda
saja. Namun terlepas dari benar atau tidaknya sebuah legenda jika di dalamnya
terdapat manfaat yang dapat kita ajarkan kepada penerus bangsa saya kira
sah-sah saja untuk menceritakannya kembali.
Pada tugas kali ini saya akan mencoba menganalisis
tiga dongeng dari Indonesia yaitu cerita bawang merah dan bawang putih, asal
usul garam dan juga cerita si gale-gale. Pada analisis ini saya akan mencoba
mencari dan mengungkit-ungkit tentag budi perkerti yang berangsur angsur lenyap
dari dunia ini. Di samping itu juga saya akan coba mengkaitkan cerita ini
dengan pendidikan dan edukasi.
BAB II
Jaman dahulu kala di sebuah desa tinggal sebuah
keluarga yang terdiri dari Ayah, Ibu dan seorang gadis remaja yang cantik
bernama bawang putih. Mereka adalah keluarga yang bahagia. Meski ayah bawang
putih hanya pedagang biasa, namun mereka hidup rukun dan damai. Namun suatu
hari ibu bawang putih sakit keras dan akhirnya meninggal dunia. Bawang putih
sangat berduka demikian pula ayahnya.
Di desa itu tinggal pula seorang janda yang memiliki
anak bernama Bawang Merah. Semenjak ibu Bawang putih meninggal, ibu Bawang
merah sering berkunjung ke rumah Bawang putih. Dia sering membawakan makanan,
membantu bawang putih membereskan rumah atau hanya menemani Bawang Putih dan
ayahnya mengobrol. Akhirnya ayah Bawang putih berpikir bahwa mungkin lebih baik
kalau ia menikahi saja ibu Bawang merah supaya Bawang putih tidak kesepian
lagi. Maka ayah Bawang putih kemudian menikah dengan ibu Bawang merah. Mulanya
ibu Bawang merah dan bawang merah sangat baik kepada Bawang putih. Namun lama
kelamaan sifat asli mereka mulai kelihatan. Mereka kerap memarahi bawang putih
dan memberinya pekerjaan berat jika ayah Bawang Putih sedang pergi berdagang.
Bawang putih harus mengerjakan semua pekerjaan rumah, sementara Bawang merah
dan ibunya hanya duduk-duduk saja. Tentu saja ayah Bawang putih tidak
mengetahuinya, karena Bawang putih tidak pernah menceritakannya.
Suatu hari ayah Bawang putih jatuh sakit dan
kemudian meninggal dunia. Sejak saat itu Bawang merah dan ibunya semakin
berkuasa dan semena-mena terhadap Bawang putih. Bawang putih hampir tidak
pernah beristirahat. Dia sudah harus bangun sebelum subuh, untuk mempersiapkan air
mandi dan sarapan bagi Bawang merah dan ibunya. Kemudian dia harus memberi
makan ternak, menyirami kebun dan mencuci baju ke sungai. Lalu dia masih harus
menyetrika, membereskan rumah, dan masih banyak pekerjaan lainnya. Namun Bawang
putih selalu melakukan pekerjaannya dengan gembira, karena dia berharap suatu
saat ibu tirinya akan mencintainya seperti anak kandungnya sendiri.
Pagi ini seperti biasa Bawang putih membawa bakul
berisi pakaian yang akan dicucinya di sungai. Dengan bernyanyi kecil dia menyusuri
jalan setapak di pinggir hutan kecil yang biasa dilaluinya. Hari itu cuaca
sangat cerah. Bawang putih segera mencuci semua pakaian kotor yang dibawanya.
Saking terlalu asyiknya, Bawang putih tidak menyadari bahwa salah satu baju
telah hanyut terbawa arus. Celakanya baju yang hanyut adalah baju kesayangan
ibu tirinya. Ketika menyadari hal itu, baju ibu tirinya telah hanyut terlalu
jauh. Bawang putih mencoba menyusuri sungai untuk mencarinya, namun tidak
berhasil menemukannya. Dengan putus asa dia kembali ke rumah dan
menceritakannya kepada ibunya.
“Dasar ceroboh!” bentak ibu tirinya. “Aku tidak mau
tahu, pokoknya kamu harus mencari baju itu! Dan jangan berani pulang ke rumah
kalau kau belum menemukannya. Mengerti?”
Bawang putih terpaksa menuruti keinginan ibun
tirinya. Dia segera menyusuri sungai tempatnya mencuci tadi. Matahari sudah
mulai meninggi, namun Bawang putih belum juga menemukan baju ibunya. Dia
memasang matanya, dengan teliti diperiksanya setiap juluran akar yang menjorok
ke sungai, siapa tahu baju ibunya tersangkut disana. Setelah jauh melangkah dan
matahari sudah condong ke barat, Bawang putih melihat seorang penggembala yang
sedang memandikan kerbaunya. Maka Bawang putih bertanya: “Wahai paman yang
baik, apakah paman melihat baju merah yang hanyut lewat sini? Karena saya harus
menemukan dan membawanya pulang.”
“Ya tadi saya lihat nak. Kalau kamu mengejarnya
cepat-cepat, mungkin kau bisa mengejarnya,” kata paman itu.
“Baiklah paman, terima kasih!” kata Bawang putih dan
segera berlari kembali menyusuri tepi sungai.
Hari sudah mulai gelap, Bawang putih sudah mulai
putus asa. Sebentar lagi malam akan tiba, dan Bawang putih. Dari kejauhan
tampak cahaya lampu yang berasal dari sebuah gubuk di tepi sungai. Bawang putih
segera menghampiri rumah itu dan mengetuknya.
“Permisi…!” kata Bawang putih. Seorang perempuan tua
membuka pintu.
“Siapa kamu nak?” tanya nenek itu.
“Saya Bawang putih nek. Tadi saya sedang mencari
baju ibu saya yang hanyut. Dan sekarang kemalaman. Bolehkah saya tinggal di
sini malam ini?” tanya Bawang putih.
“Boleh nak. Apakah baju yang kau cari berwarna
merah?” tanya nenek.
“Ya nek. Apa…nenek menemukannya?” tanya Bawang
putih.
“Ya. Tadi baju itu tersangkut di depan rumahku.
Sayang, padahal aku menyukai baju itu,” kata nenek. “Baiklah aku akan
mengembalikannya, tapi kau harus menemaniku dulu disini selama seminggu. Sudah
lama aku tidak mengobrol dengan siapapun, bagaimana?” pinta nenek.
Bawang putih berpikir sejenak. Nenek itu kelihatan
kesepian. Bawang putih pun merasa iba.
“Baiklah nek, saya akan menemani nenek selama
seminggu, asal nenek tidak bosan saja denganku,” kata Bawang putih dengan
tersenyum.
Selama seminggu Bawang putih tinggal dengan nenek
tersebut. Setiap hari Bawang putih membantu mengerjakan pekerjaan rumah nenek.
Tentu saja nenek itu merasa senang. Hingga akhirnya genap sudah seminggu, nenek
pun memanggil bawang putih.
“Nak, sudah seminggu kau tinggal di sini. Dan aku
senang karena kau anak yang rajin dan berbakti. Untuk itu sesuai janjiku kau
boleh membawa baju ibumu pulang. Dan satu lagi, kau boleh memilih satu dari dua
labu kuning ini sebagai hadiah!” kata nenek.
Mulanya Bawang putih menolak diberi hadiah tapi
nenek tetap memaksanya. Akhirnya Bawang putih memilih labu yang paling kecil.
“Saya takut tidak kuat membawa yang besar,” katanya. Nenek pun tersenyum dan
mengantarkan Bawang putih hingga depan rumah.
Sesampainya di rumah, Bawang putih menyerahkan baju
merah milik ibu tirinya sementara dia pergi ke dapur untuk membelah labu
kuningnya. Alangkah terkejutnya bawang putih ketika labu itu terbelah,
didalamnya ternyata berisi emas permata yang sangat banyak. Dia berteriak
saking gembiranya dan memberitahukan hal ajaib ini ke ibu tirinya dan bawang
merah yang dengan serakah langsun merebut emas dan permata tersebut. Mereka
memaksa bawang putih untuk menceritakan bagaimana dia bisa mendapatkan hadiah
tersebut. Bawang putih pun menceritakan dengan sejujurnya.
Mendengar cerita bawang putih, bawang merah dan
ibunya berencana untuk melakukan hal yang sama tapi kali ini bawang merah yang
akan melakukannya. Singkat kata akhirnya bawang merah sampai di rumah nenek tua
di pinggir sungai tersebut. Seperti bawang putih, bawang merah pun diminta
untuk menemaninya selama seminggu. Tidak seperti bawang putih yang rajin,
selama seminggu itu bawang merah hanya bermalas-malasan. Kalaupun ada yang
dikerjakan maka hasilnya tidak pernah bagus karena selalu dikerjakan dengan
asal-asalan. Akhirnya setelah seminggu nenek itu membolehkan bawang merah untuk
pergi. “Bukankah seharusnya nenek memberiku labu sebagai hadiah karena
menemanimu selama seminggu?” tanya bawang merah. Nenek itu terpaksa menyuruh
bawang merah memilih salah satu dari dua labu yang ditawarkan. Dengan cepat
bawang merah mengambil labu yang besar dan tanpa mengucapkan terima kasih dia
melenggang pergi.
Sesampainya di rumah bawang merah segera menemui
ibunya dan dengan gembira memperlihatkan labu yang dibawanya. Karena takut
bawang putih akan meminta bagian, mereka menyuruh bawang putih untuk pergi ke
sungai. Lalu dengan tidak sabar mereka membelah labu tersebut. Tapi ternyata
bukan emas permata yang keluar dari labu tersebut, melainkan binatang-binatang
berbisa seperti ular, kalajengking, dan lain-lain. Binatang-binatang itu
langsung menyerang bawang merah dan ibunya hingga tewas. Itulah balasan bagi
orang yang serakah.
B.
ANALISIS DONGENG
BAWANG MERAH DAN BAWANG PUTIH
Cerita ini berasal dari daerah jawa dan terkenal
didaerah lainnya, di dalam cerita ini mengandung dua tokoh yaitu tokoh baik dan
tokoh jahat. Tokoh baik di perankan oleh bawang putih sedangkan tokoh jahat di
perankan oleh bawang merah dan ibunya.
Prinsip moral yang dapat kita tiru dalam cerita ini
adalah sifat rajin dalam mengerjakan sesuatu sebagaimana bawang putih, meskipun
dia di perlakukan kasar oleh saudara tirinya, adapun sifat yang patut kita
jauhi adalah sifat rakus dan serakah seperti sifatnya bawang merah dalam
mengambil labu, akibatnya dia terkena celaka.
Tersebutlah
keadaan anak gadis petani yang tinggal di pondok dalam hutan yang pernah
disinggahi Aji Saka ketika baru saja mendarat di Pulau Jawa. Sepeninggal Aji
Saka, gadis tadi menjadi hamil akibat memangku pisau milik tamunya itu.
Mungkin
tangkai pisau yang hilang itulah yang kemudian menjelma menjadi kandungan dalam
perut gadis tersebut.
Setelah
genap usia kandungan gadis tersebut maka lahirlah anaknya. Tetapi yang
mengherankan anak yang lahir dari rahim gadis anak petani tadi tidak berujud
bayi seperti halnya anak manusia pada umumnya melainkan berujud seekor anak
ular.
Sebenarnya
keluarga petani itu merasa malu mempunyai cucu seekor ular itu tetapi apa boleh
buat, mengkin sudah suratan takdirnya harus begitu, demikian piker mereka.
Untunglah mereka tinggal di tengah hutan, jauh dari keramaian manusia sehingga
tidak ada orang lain yang mengetahui hal tersebut.
Ular
itu dipelihara baik-baik oleh keluarga petani dan dinamakan Baruklinting.
Setelah dewasa berpikirlah ia mengapa di pondok yang mereka tempati itu
penghuninya hanya terdiri dari kakek, nenek, ibunya, dan dia sendiri. Lalu di
manakah ayahnya dan bagaimana ujud ayahnya itu, apakah berbentuk manusia atau
ular? Sampai berapa lama Baruklinting belum berhasil mengetahui rahasia keluarganya
itu. Akhirnya ia memberanikan diri untuk bertanya kepada ibunya tentang masalah
tersebut. Dari ibunya itu didapatlah keterangan tentang dirinya dan asal
mulanya ia lahir, yaitu sejak Aji Saka bertamu di pondoknya. Dan diceriterakan
pula bahwa ayahnya, Si Aji Saka kini telah menjadi raja besar yang memerintah
negeri Medangkamulan bergelar Prabu Jaka. Dari keterangan ibunya itu tahulah
kini bahwa ia sebenarnya adalah anak seorang raja. Maka bermaksudlah ia akan
menemui ayahnya. Ketika ia mengemukakan keinginannya tersebut kepada seisi
pondok mula-mula tidak disetujui. Mereka khawatir kalau Prabu Jaka tidak
mengakui Baruklinting sebagai anaknya. Tetapi Baruklinting terus mendesak
sehingga akhirnya mereka tidak melarang lagi. Pada hari yang telah ditentukan berangkatlah
Baruklinting menuju istana Prabu Jaka. Sampai di pintu gerbang istana,
Baruklinting ditanya oleh penjaga. Kepada penjaga itu diterangkan bahwa
sesungguhnya ia adalah putera Prabu Jaka dan maksud kedatangannya itu adalah
untuk menemui ayahnya yang selama ini belum pernah ia lihat.
Penjaga
itu lalu menghadap Prabu Jaka untuk melaporkan kedatangan Baruklinting. Sang
Prabu tatkala menerima laporan dari penjaga lalu teringat peristiwa beberapa
tahun yang lalu yaitu ketika hilangnya tangkai pisau dari pangkauan anak gadis
pemilik pondok yang ditumpanginya. Dalam hatinya Sang Prabu telah menduga bahwa
ular yang datang itu adalah anaknya, tetapi beliau merasa malu untuk mengakui
ular itu sebagai anaknya. Kemudian dititahkan kepada penjaga agar Baruklinting
dibawa menghadap. Penjaga itu lalu menyembah, dan sesudah it uterus mundur. Dan
tidak berapa lama kemudian penjaga itu telah menghadap lagi bersama
Baruklinting. Sang Prabu Jaka menanyai Baruklinting, siapa ia sebenarnya serta
apa maksud kedatangannya. Maka sembah Baruklinting, “Ampun Tuanku, menurut
penuturan ibu hamba, yang kini tinggal di sebuah pondok dalah hutan hamba
adalah putera paduka. Menurut ceriteranya dulu beberapa tahun yang lalu paduka
pernah singgah di pondok tempat tinggal ibuku. Kemudian paduka meminjamkan
pisau kepada ibuku dengan pesan agar pisau itu jangan sampai diletakkan di
pangkuannya. Rupanya ibuku lupa akan pesan paduka itu karena dengan tidak
disengaja pisau itu sehabis dipakai lalu diletakkan di pangkuannya. Sesudah itu
terjadi suatu keajaiban, yaitu pisau tadi hilang tangkainya. Pisau yang tidak
bertangkai itu lalu paduka ambil kemudian paduka terus meninggalkan pondok.
Sepeninggal paduka, ibuku hamil dan setelah genap bulannya maka lahirlah hamba
yang berujud ular ini. Adapun maksud kedatangan hamba menghadap paduka ini
ialah ingin bertemu dengan paduka ayahanda karena seumur hidup belum pernah
melihat ayahanda.”
Dalam
hati Sang Prabu mengetahui kebenaran kata-kata Baruklinting tersebut tetapi
beliau malu kepada para prajurit karena tidak wajar seorang manusia beranak
ular. Maka untuk siasat menyingkirkan Baruklinting, Sang Prabu bersabda,
“Jikalau engkau menghendaki agar saya akui sebagai anak maka terlebih dahulu
engkau harus membuktikannya dengan suatu perbuatan yang sepadan dengan
derajatmu sebagai seorang putera raja. Adapun tugas yang harus kau jalankan
untuk pembuktian itu ialah kau harus mengalahkan buaya putih yang hingga saat
ini menjadi penguasa lautan selatan. Ketahuilah bahwa buaya putih itu adalah
musuh besarku dan ia telah bertekad akan membinasakan diriku.”
Selanjutnya
Sang Prabu masih mengajukan syarat-syarat lagi, antara lain:
1.
Baruklinting pada waktu pergi dan pulang dari lautan selatan nanti harus
menempuh jalan di bawah tanah dengan alas an supaya tidak merusak tanaman milik
anak negeri.
2.
Jika sudah berhasil mengalahkan buaya putih nanti maka ia harus membawa pulang
kepala musuhnya itu beserta air laut, rumput laut dan bermacam-macam jenis
tumbuh-tumbuhan laut sebagai bukti bahwa ia benar-benar telah melakukan
tugasnya.
Karena
Baruklinting ingin sekali diakui sebagai putera Sang Prabu maka tugas yang
berat it uterus disanggupi. Bagi dia pekerjaan semacam itu dapat
dilaksanakannya.
Dalam
hati Sang Prabu berkata, “Tentunya Baruklinting tidak akan mampu mengalahkan
buaya putih yang sakti itu. Ia pasti binas dikalahkan buaya putih penjelmaan
Dewatacengkar itu. Dengan demikian ia tidak akan kembali ke sini lagi. Berarti
saya bebas, tidak perlu memenuhi janjiku.”
Adapun
Baruklinting setelah menerima titah Sang Prabu terus berangkat ke lautan
selatan lewat bawah tanah. Ia tidak merasa gentar menghadapi pekerjaan berat
yang akan dilakukannya itu. Singkatnya, ia telah berhasil menemukan buaya putih
dan terjadi perang tanding. Pertempuran itu cukup sengit sehingga menimbulkan
gelombang laut yang besar. Akhirnya dengan suatu siasat Baruklinting berhasil
mengalahkan buaya putih itu yang kemudian dibunuh. Kepalanya terus dipotong
untuk dipersembahkan kepada Sang Prabu. Bersama dengan kepala itu dibawa pula
air laut, rumput laut, dan bermacam-macam jenis tumbuh-tumbuhan laut sebagai
bukti bahwa ia benar-benar telah melakukan tugasnya.
Setelah
syarat-syarat itu terkumpul baruklinting lalu bersiap-siap akan kembali ke
Keraton Medangkamulan. Seperti halnya pada waktu berangkat maka pada waktu
pulang Baruklinting juga menempuh jalan bawah tanah. Karena terlalu lelah,
dalam melakukan perjalanan jauh tambahan pula habis berkelahi serta membawa
barang yang berat, maka Baruklinting bermaksud akan istirahat di atas tanah. Ia
muncul di suatu tempat di permukaan bumi dan tempat itu lalu menjadi sumber
penggaraman berupa belik atau sendang. Sampai sekarang tempat ini
masih dapat dilihat letaknya di Desa Yono, Kecamatan Tawangharjo. Kabarnya di
tempat ini tumbuh pohon luntas dan rumput grinting yang asalnya dari lautan
selatan.
Setelah
puas beristirahat, Baruklinting lalu masuk ke dalam tanah lagi akan meneruskan
perjalanan. Ia berjalan ke arah timur dan sampai di suatu tempat. Di sini ia
menjadi bingung dikiranya tempat itu tepat di bawah halaman istana
Medangkamulan sehingga ia muncul di situ. Ternyata tempat itu bukan yang
dimaksud. Tempat munculnya yang kedua kalinya ini menjadi sumber garam pula,
sekarang dikenal dengan nama Desa Crewek. Baruklinting setelah mengetahui bahwa
tempat tersebut bukan yang dimaksdu, lalu masuk lagi ke dalam tanah untuk
meneruskan perjalanannya sehingga melampaui tempat yang sebenarnya akan dituju
(ke banjur, Jawa) karena tidak tahu.
Tempat munculnya yang ketiga kalinya ini disebut Desa banjur, berasal dari
perkataan ke banjur. Desa ini kemudian menjadi sumber garam. Karena merasa
keliru lagi, Baruklinting lalu masuk ke dalam tanah akan terus mencari. Setelah
menempuh jarak yang cukup jauh akhirnya ia merasa sangat lelah dan tidak kuat
meneruskan perjalanan lagi. Ia memutuskan untuk muncul ke permukaan bumi lagi
dengan maksud akan beristirahat (bahasa Jawa kekuwon). Kemudian tempat munculnya yang terakhir ini dinamakan
Desa Kuwu. Nama ini berasal dari perkataan ke kuwu. Desa Kuwu itu kemudian
menjadi sumber garam pula dan merupakan sumber garam yang terbesar di antara
sumber-sumber yang lain. Sampai di sini baruklinting tidak meneruskan
perjalanannya lagi ke Medangkamulan. Rupanya ia telah menyadari bahwa Sang
Prabu menitahkan untuk melakukan pekerjaan yang berat itu hanyalah suatu siasat
belaka untuk menyingkirkan dirinya.
Demikianlah
asal mula terjadinya sumber garam di daerah Kuwu dan sekitarnya yang konon ada
hubungannya dengan perjalanan Aji Saka ke Tanah Jawa. Sampai sekarang sumber
garam itu masih tetap berproduksi dan merupakan salah satu sumber mata
pencaharian masyarakat setempat. Sedangkan nama-nama desa penghasil garam yang
disebut dalam cerita ini pun sampai sekarang masih ada.
Adapun
Desa Kuwu terletak di Kabupaten Grobokan, Jawa Tengah. Sumber garam ini oleh
masyarakat setempat biasa di Bledug Kuwu, karena adanya suara semburan lumpur
dari dalam tanah.
D.
ANALISIS DONGENG ASAL USUL GARAM
Seperti
halnya cerita di atas, cerita tentang asal usul garam ini juga berasal dari
daerah jawa, konon kabarnya cerita ini adalah cerita nyata.
Adapun
pesan moral yang dapat kita analisis adalah perasaan malu dari sang raja yang
tidak mengakui baruklinting sebagai anaknya, hal ini di karenakan wujud anaknya
seperti ular sehingga sang raja malu memiliki anak berwujud ular.
E. Legenda
Sigale-gale
Pada masa yang silam, apabila seorang terkemuka
meninggal sebelum mempunyai anak sebagai penyambung keturunan, dianggap
merupakan kesialan. Untuk mencegah supaya nestapa seperti itu tidak berulang
kembali, maka diadakanlah tarian duka menggunakan boneka dari kayu.
Boneka tersebut bentuknya seperti manusia, kepalanya
dilumuri dengan kuning telur. Giginya dicat hitam menggunakan jelaga baja, pada
lekuk mata dilekatkan buah berwarna merah. Boneka diberi pakaian ulos Batak, di
atas kepalanya dilekatkan rambut kuda atau ijuk, atau diberi ikat kepala.
Selanjutnya boneka diletakkan di atas papan beroda, lalu ditarik berkeliling
kampung. Kaum kerabat memeluk boneka sambil menangis tersedu-sedu, sebagai
tanda perpisahan untuk selamanya. Jika boneka duka diarak di kala terang bulan,
akan membawa suatu perasaan pilu dan mengharukan. Pada malam terakhir acara
tari-tari duka itu, boneka dibawa keluar kampung, lalu dicampakkan ke Danau
Toba, maksudnya supaya di masa yang akan datang, tidak berulang lagi nasib
seperti yang dialami oleh keluarga yang malang itu.
Sigalegale adalah sebuah patung yang terbuat dari
kayu. Konon, kayu yang digunakan untuk membuat patung tersebut adalah “Hau
Pokki” (Kayu Pokki). Di daerah Kalimantan, kayu tersebut dikenal dengan sebutan
“Kayu Ulin” (Kayu Besi). Berdasarkan informasi yang ada, pada tahun 1980-an,
Sigalegale dimainkan dengan diiringi Gondang Hasapi (Alat musik yang
menggunakan alat musik kecapi, dan dalam memainkan Gondang Kecapi ini sangat diperlukan
unsur perasaan. Alasannya adalah karena Gondang Kecapi ini terkesan lebih
syahdu dan lembut) dan bukan Gondang Bolon (Alat musik yang tidak menggunakan
alat musik kecapi) dan tidak lagi mengandung unsur mistis. (Dulu, pada waktu
Dr. I. L. Nommensen datang ke tanah Batak, Gondang Bolon tersebut adalah salah
satu kebudayaan yang sangat ditentang oleh Nommensen dari sekian banyak
kebudayaan lainnya, karena dulu pemakaian Godang Bolon tersebut identik dengan
magis atau mistik). Pertunjukan Sigalegale pun sudah menggunakan tali yang
kemudian ditarik oleh dua orang dalang dan lima orang pemain musik.
Seiring dengan majunya zaman, apalagi di zaman
sekarang ini, maka dengan sendirinya pemikiran manusia pun akan berubah,
terutama dalam hal kebudayaan. Akhirnya, keinginan masyarakat untuk menyaksikan
pertunjukan Sigalegale pun semakin berkurang dan dalang yang memainkan
Sigalegale ini pun berkurang menjadi satu orang dan alat musik yag digunakan
pun menjadi alat musik yang sudah dikasetkan.
Tidak ada sumber yang pasti untuk legenda Sigalegale
ini. Banyak versi yang beredar untuk menceritakan legenda tersebut. Namun
semuanya itu mengandung makna dan pesan yang sama. Untuk itu kami memilih
beberapa cerita yang memiliki cerita yang memiliki kesamaan dan juga lebih
menyentuh kepada kepercayaan dan kebatinan.
Menurut cerita dari bapak Jimmy Sigiro seorang
dalang patung Sigalegale asal mula boneka duka (Sigalegale) itu adalah sebagai
berikut:
Sekitar ± 300 tahun yang lalu, seorang keturunan si
Raja Batak yaitu Raja Rahat yang konon adalah seorang raja yang kaya dan
memiliki banyak tanah yang berada ± 50 Km dari Tomok, di sekitar pegunungan
Desa Lumban Suhi (saat ini kerajaan itu sudah tidak terlihat lagi). Si Raja
Rahat hanya memiliki satu orang anak saja yaitu si Raja Manggele. Pada usianya
yang menjelang dewasa, ± 15 – 16 tahun, si Raja Rahat memerintah si Raja
Manggele untuk memperluas daerah kekuasaannya, yang mana dalam hal itu mereka
harus berperang. Menurut cerita, si Raja Manggele adalah seorang anak yang patuh
kepada orang tuanya, sehingga dia pun menyanggupi perintah ayahnya tersebut.
Kemudian ia bergegas pergi ke daerah yang hendak
dikuasai, bersama dengan prajurit-prajurit ayahnya. Melihat semangat si Raja
Manggele, si Raja Rahat sangat senang melihat anaknya dan ia sangat mengasihi
si Raja Manggele. Namun, kebahagiaan dan kesenangan itu tidak bertahan lama.
Dalam peperangan itu Raja Manggele terkena musibah. Ia terkena panah sehingga
terluka cukup parah. Pada saat itu, Raja Manggele masih sempat bertahan dan
masih sempat diobati oleh “datu-datu (Dukun)”. Namun sangat disayangkan, usaha
para datu tersebut ternyata sia-sia. Mereka tidak mampu untuk mengobati luka
yang dideritanya, sehingga si Raja Manggele pun meninggal. Berita kematian Raja
Manggele itu tersiar ke seluruh lapisan masyarakat. Kemudian sampailah kabar
ini kepada si Raja Rahat dan ia pun sangat terkejut dan sangat menyesal karena
telah menyuruh anaknya untuk ikut berperang. Setiap hari si Raja Rahat hanya
bisa menangis. Ia prustasi dan bahkan kelihatan layaknya seperti orang gila. Si
Raja Rahat menyalahkan dirinya karena ia yang telah mengakibatkan semua itu.
Setiap hari si Raja Rahat hanya bisa meratap dan terdiam mengingat kejadian
itu.
Pada saat itu sistem kehidupan masyarakat adalah
apabila seorang raja mengalami musibah maka dengan sendirinya, masyarakat pun
ikut sedih. Di kemudian hari, datanglah seorang datu kehadapan si Raja Rahat.
Dia mencoba menghibur raja dengan mengusulkan untuk membuatkan baginya sebuah
patung yang konon akan dibuat menyerupai wajah Raja Manggele, anaknya. Raja
setuju dan proses pembuatan pun dilakukan. Namun datu itu tidak berhasil karena
dia tidak memiliki kekuatan naturalis yang cukup untuk membuat patung itu.
Akhirnya, ia mengumpulkan datu-datu besar sebanyak enam orang. (Menurut cerita
dari Bapak Jimmy Sigiro, salah satu dari para datu yang membuat patung tersebut
adalah marga Sinaga yang sampai saat ini masih hidup). Dengan ilmu kebatinan
yang mereka miliki, mereka mencoba memahat kayu dan membuatnya persis menyerupai
si Raja Manggele. Konon para datu tersebut tidaklah mengenal si Raja Manggele,
namun dengan ilmu kebatinan yang mereka miliki, mereka mampu membuat sebuah
boneka manusia yang terbuat dari kayu yang mirip dengan si Raja Manggele.
Kemudian patung si Raja Manggele itu dipakaikan ulos serta tali pengikat kepala
dengan tiga macam warna yaitu merah, hitam dan putih.
Setelah semuanya siap, kemudian patung si Raja
Manggele tersebut dimasukkan kedalam peti. Hal itu dilakukan untuk masuk
kedalam tahap berikutnya yaitu untuk menghidupkan patung itu. Ketujuh datu
dengan bantuan pemain musik “Gondang Bolon” memanggil jiwa si Raja Manggele
untuk merasuki patung tersebut. Kemudian, patung itu dapat bangkit dari peti
itu dan patung tersebut mampu untuk menggerak-gerakkan badannya layaknya
manusia (manortor). Gondang yang dipakai untuk memulainya adalah dimulai dari
“Gondang Mulamula” sampai dengan “Gondang Hasahatan”. Melihat keberhasilan itu,
akhirnya mereka berembuk untuk mempertunjukkan patung tersebut di hadapan si Raja
Rahat. Kemudian mereka pun pergi ke halaman rumah si Raja Rahat dan mereka pun
mulai membangunkan patung tersebut dengan bantuan alat musik Gondang Bolon. Di
saat si Raja Rahat mendengar suara gondang tersebut, ia keluar dan turun ke
halaman rumahnya untuk melihat apa yang sedang terjadi. Setelah melihat patung
tersebut bisa “manortor” dan menyerupai anaknya si Raja Manggele, si Raja Rahat
sangat senang melihat hal tersebut dan ia pun mulai tersenyum bahagia karena ia
masih bisa merasakan anaknya seolah-olah hidup kembali. Oleh karena hal itu si
Raja Rahat pun kemudian mengucapkan terimakasih kepada para datu yang telah
berhasil membuat patung yang menyerupai anaknya itu. Si Raja Rahat pun
menyimpan patung itu di dalam rumahnya. Sesekali, jika Raja rindu dengan
anaknya si Raja Manggele, ia kembali memanggil ketujuh datu itu untuk
mempertunjukkan dan mempertontonkannya di tengah-tengah masyarakat. Dengan
melihat patung itu dapat “manortor” dengan lemah gemulai mengikuti irama
gondang yang dimainkan oleh para datu, patung itu pun berubah nama yang dulunya
adalah si Raja Manggele, kemudian diberi nama “Sigalegale”.
Sedangkan versi dari buku Batak Toba Kehidupan di
Balik Tembok Bambu mengisahkan ceritanya adalah sebagai berikut.
Di dalam sebuah kampung di Toba, terjadi duka yang
sangat dalam karena putra, tunggal seorang pemimpin yang terpandang meninggal
dunia. Ayahnya sangat terpukul, karena tidak ada lagi anaknya yang akan
meneruskan keturunan. Bagi orang Batak yang menganut paham patriarchal,
kematian anak laki-laki satu-satunya itu berarti punahnya sebuah cabang
keluarga. Si ayah sangat sedih dan sangat rindu kepada anaknya yang sudah
meninggal, siang dan malam dia mengharapkan kalau saja dapat menatap wajah
anaknya barang sekali saja. Pada suatu hari dia mengambil sepotong kayu dan
mengukir patung manusia, bentuk dan corak wajahnya sangat menyerupai anaknya.
Untuk mengenang putranya yang berumur pendek itu, ia menggerak-gerakkan boneka
kayu tersebut sebagaimana ia pernah lakukan ketika anaknya masih hidup. Setiap
bulan purnama menampakkan diri dan bintang-bintang bertaburan di langit, si
ayah duduk di depan rumah dikelilingi oleh penduduk kampung. Dia menarik-narik
lengan dan anggota tubuh boneka kayunya, sehingga kelihatan seperti orang yang
sedang menari-nari. Semua yang hadir merasa iba dan turut bersedih hati. Para
pria terenyak menyaksikan hal tersebut tanpa mengucapkan sepatah kata karena
turut bersedih., Ibu-ibu sambil duduk ikut menangis tersedu-sedu, karena anak
tunggal itu telah pergi dan tidak akan pernah kembali lagi.
Tarian boneka duka itu berlanjut terus dari waktu ke
waktu, dan ditiru oleh orang-orang yang mengalami penderitaan yang sama seperti
si ayah, suatu cara melampiaskan kerinduan kepada putranya yang sudah tiada.
Semakin lama boneka duka semakin disempurnakan,
wajahnya diperindah, tariannya juga dibuat bertambah gemulai. Tarian boneka
duka semakin bertambah lentik tak ubahnya seperti kupu-kupu yang sedang
mengibas-ngibaskan sayapnya, dan boneka itu diberi nama Sigalegale (gale
artinya lemah, tetapi dapat juga diartikan lentur-gemulai, karena jari-jarinya
bergerak cekatan seperti penari serimpi).
Lama kelamaan Sigalegale tidak berfungsi hanya
sebagai pelipur lara mengenang anak yang sudah tiada, tetapi juga berfungsi
untuk menangkal malapetaka dan mengusir hal-hal yang buruk (papurpur sapata).
Sigalegale yang terbuat dari patung kayu,
menggambarkan seorang manusia lengkap dengan tangan dan kaki yang dapat
digerak-gerakkan. la berdiri di atas sebilah papan kayu yang mempunyai roda,
sehingga dapat ditarik maju-mundur. Kepala boneka tersebut juga terbuat dari
kayu (bentuknya tidak begitu halus), tetapi matanya dari logam (seng). Wajahnya
dibungkus dengan kapur putih yang dilumuri dengan kuning telur bercampur
kunyit. Di atas kepalanya dililitkan sejenis ulos, yang disebut tali-tali.
Leher patung yang bentuknya seperti alu, dimasukkan ke dalam sebuah tiang atau
pasak yang sudah diberi lubang, sehingga leher dan kepala dapat berputar ke
segala arah. Pada badan boneka diikatkan dua tangan dari kayu berwarna cokelat
tua; siku dan pangkal bahu dapat digerak-gerakkan ke atas maupun ke bawah,
demikian juga jari-jarinya sangat lentur bila menari. Seorang pemegang tali
kendali, duduk di belakang Sigalegale; dengan piawainya dia dapat
menggerak-gerakkan seluruh tubuh boneka tersebut mulai dari kepala, tangan dan
bahu.
Orang Batak yang animis percaya, orang yang
meninggal tanpa keturunan akan masuk ke dalam Banua Toru bersama begu (roh
jahat) yang derajatnya paling rendah. Mereka tidak diberi nama. Di alam begu,
derajat seorang roh sangat tergantung pada jenis dan banyaknya sesajen yang
dipersembahkan keturunan atau keluarga kepadanya. Jika tidak ada keturunan yang
mempersembahkan sesajen atau kurban kepada orang yang meninggal, maka
derajatnya di dunia roh dianggap rendah dan tidak mungkin melebihi roh-roh
lain. Akibatnya dia akan disamakan dengan roh jahat yang hina-dina. Supaya roh
tersebut tidak sakit hati dan menaruh dendam kepada keluarganya yang tidak
mempersembahkan kurban secara rutin, keluarganya berusaha memperdaya roh jahat.
Diciptakan sebuah boneka kayu yang diberi peran sebagai anak kandung almarhum.
Di atas mata boneka tersebut, ditempelkan lumut berisi air dan jika ditekan
akan mengeluarkan air, seakan-akan air matanya jatuh bercucuran. Patung kayu
itu dibuat seakan-akan dia adalah anak kandung almarhum yang sedang meratapi
ayahnya. Dia menari dengan menggerakkan jari-jarinya yang lemah gemulai
sehingga roh jahat terkecoh, dan mengira bahwa yang menari tersebut adalah anak
almarhum. Selama acara kematian, boneka itu menari terus, maksudnya untuk
memberi kedamaian kepada roh orang yang meninggal.
Jika seorang pria meninggal sebelum berumah tangga,
berarti tidak mempunyai anak yang akan melanjutkan keturunannya. Di dunia roh
dia akan dihina bahkan dikucilkan dari lingkungannya karena dianggap roh yang
tidak berguna. Untuk menghiburnya supaya merasa aman dan damai, keluarga
terdekat menempatkan sebuah joro (rumah tradisional dalam bentuk mini) di atas
kuburannya. Pada joro itu digantungkan berbagai persembahan dan sesajen serta
barang yang biasa dipakai almarhum sewaktu masih hidup. Lebih kurang dua bulan
setelah kematian pria tersebut, diadakan pesta tarian Sigalegale di kampung.
Semua keluarga dan sanak saudara serta seisi kampung diundang turut serta.
Tamu-tamu disuguhi jamuan makan dan tuak yang berlimpah. Pesta itu berlangsung
selama satu minggu, diiringi gondang Batak (orkes Batak). Sigalegale menari
tiada henti-hentinya, di siang hari di bawah pohon hariara, di malam hari di
udara terbuka diterangi bintang di langit. Pada hari terakhir tuan rumah
membagi-bagikan daging kepada semua yang hadir. Sementara itu kepada Sigalegale
dikenakan pakaian adat yang indah bertatakan perhiasan. Di pelataran kampung,
Sigalegale menari terus diikuti “suhut (tuan rumah)”, beserta keluarga dan
sanak saudara. Di penghujung acara semua yang hadir berpawai menuju kuburan, di
barisan paling depan terlihat Sigalegale beserta joronya digotong
beramai-ramai. Setelah tiba di makam, dipanjatkan doa takzim (tonggo-tonggo)
memohon kepada roh leluhur supaya tidak terulang lagi nasib sial, meninggal
sebelum memperoleh keturunan. Setelah selesai melakukan tugasnya, orang yang
mengendalikan Sigalegale, bergegas pergi ke luar kampung; di sanalah dia
mengasingkan diri selama satu malam. Tak seorang pun berani menampungnya di
kampung, karena dianggap masih dirasuki oleh roh-roh orang mati yang belum puas
dengan acara pesta kematian. Di kesunyian malam, roh-roh itu meninggalkannya
tergeletak sendirian di lapangan terbuka.
F. Analisis
cerita sigale-gale
Perlu kita ketahui bahwa masyarakat Batak sangat
kaya akan kebudayaan. Salah satunya adalah kebudayaan berupa legenda atau
mitos. Legenda merupakan suatu cerita dari generasi ke generasi suatu bangsa
atau suku, khususya masyarakat Batak. Legenda Sigalegale merupakan suatu
warisan yang sangat berharga bagi orang Batak, karena dalam legenda tersebut
tersimpan suatu bentuk kehidupan orang-orang Batak pada masa dulu dan tentunya
masih memberi makna pada kehidupan sekarang dan akan datang.
Sigalegale yang pada saat ini menjadi sumber objek
wisata di Tomok sesungguhnya dulu adalah suatu patung yang memiliki kesan magis
dimana dalam pembuatannya itu digabungkan kekuatan batin tujuh orang dukun
ternama pada masa itu sehingga patung itu dapat bergerak sendiri. Patung
tersebut memberikan suatu pesan kehidupan yang menjunjung tinggi silsilah atau
garis keturunan keluarga. Begitu besarnya kedudukan laki-laki dalam orang Batak
sehingga patung Sigalegale tercipta sebagai ungkapan kesedihan yang mendalam
dari keluarga yang kehilangan garis keturunannya.
Begitu juga dengan unsur-unsur yang digunakan untuk
membuat sebuah patung. Bagi orang Batak, misalnya “kuning telur”, mempunyai
arti tersendiri bagi orang Batak yaitu sebagai simbol kehidupan dan unsur
kuning telur menunjukkan raut wajah yang cerah dan lebih hidup. Begitu juga
dengan warna “putih, merah dan hitam”. Bagi orang Batak, warna-warna tersebut
mempunyai arti tersendiri.
Ada umpama/umpasa orang Batak mengatakan: “Ompu Raja
di jolo martungkot sialagundi; Angka na uli tinonahon ni angka ompunta na
parjolo, siihuthonon ni hita angka na di pudi”. Maka dengan itu, kita sebagai
orang Batak, hendaknya ikut berperan serta dalam melestarikan budaya kita dan
menjunjung tinggi kebudayaan kita, karena hal itu sangatlah berharga bagi kita.
Satu hal lagi umpama/umpasa orang Batak mengatakan: “Sinuan bulu, sibahen na
las; Sinuan adat dohot uhum, sibahen na horas”. Dari umpama/umpasa tersebut
kita bisa mengetahui bahwa, legenda-legenda atau mitos-mitos yang ada dalam orang
Batak mempunyai tujuan yang baik bagi kita semua.
DAFTAR PUSTAKA
http://dongengkakrico.wordpress.com/cerita/cerita-rakyat-bawang-merah-bawang-putih/
Sri
Sumarsih, BA, ____, Asal Mula Sumber Garam Kuwu: Cerita Rakyat dari Daerah Purwodadi,
Grobogan, Jawa Tengah, Jakarta: Proyek Pengembangan Media Kebudayaan
Ditjen Kebudayaan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI hal. 63-68.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar