KUMPULAN
MAKALAH
PSIKOLOGI PENDIDIKAN
Dari kelompok satu sampai
kelompok lima
Interaksi edukatif
Kematangan dan kesiapan
belajar
Konsep dasar belajar
Aktifitas belajar
Teori dan hukum belajar
Mahasiswa Tarbiyah Pagi
Sekolah Tinggi Agama Islam
STAI Darussalam
MARTAPURA
Semester 4
Makalah Tugas Kelompok
Dengan Tema:
INTERAKSI EDUKATIF
Di Presentasikan Dalam Forum Diskusi Kelas
Mata Kuliah :
PSIKOLOGI PENDIDIKAN
Dosen Pengampu :
Drs. SUPRIATNO M.Pd.I
Di susun oleh :
Kelompok 1
|
NO
|
NAMA
|
NPM
|
JABATAN
|
|
1.
|
AHMAD ARIF
|
12.12.2918
|
Ketua Kelompok
|
|
2.
|
MULIYANA
|
12.12.2957
|
Sekertaris
|
|
3.
|
SITI NOR JANNAH
|
12.12.2976
|
Anggota
|
|
4.
|
M. MAHRUS
|
12.12.2946
|
Anggota
|
|
5.
|
M. TAUFIQ
|
12.12.2955
|
Anggota
|
|
6.
|
HARNIDAH
|
12.12.2935
|
Anggota
|
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM (STAI)
DARUSSALAM MARTAPURA
2014
A.
PENDAHULUAN
Ada tiga pokok penting dalam sebuah interaksi pendidikan yaitu
guru, murid, dan bahan ajar. Apabila salah satunya tidak ada maka interaksi
pendidikan tidak akan terjadi. Tiga pokok tersebut memiliki tugas
masing-masing.
Guru adalah pendidik, yang menjadi tokoh, panutan dan identifikasi
bagi para peserta didik, dan lingkungannya. Oleh karena itu, guru harus
memiliki standar kualitas tertentu, yang mencakup tanggung jawab, wibawa, mandiri
dan disiplin.
Kebanyakan guru seharusnya menjadi pendidik anak didiknya tetapi
kurang optimal dalam pengajarannya karena kurangnya komunikasi eduktif dan
interaksi pembelajaran yang kurang antara guru dan siswanya. Sehingga murid
merasa bosan dan pembelajaran untuk mendidik siswa jadi tidak optimal.
Banyak peserta didik yang
sering mengabaikan gurunya. Ada yang berbicara dengan teman , bermain HP dan
malah ada yang tidur. Sebagai guru yang baik bukanlah untuk memarahi peserta
didik tetapi mengoreksi hal kenapa terjadi seperti itu. Dalam hal ini
kebanyakan peserta didik tidak suka akan guru tersebut tetapi guru tersebut
kurang mampu menguasai komunikasi dan interaksi belajar mengajar. Sehingga
untuk guru tersebut perlu berinteraksi dan berkomunikasi secara edukatif,
inovatif dan kreatif.
B.
INTERAKSI EDUKATIF
1.
Pengertian
Interaksi edukatif
Interaksi edukatif berasal dari dua kata yaitu interaksi dan
edukatif. Interaksi adalah suatu jenis tindakan atau aksi yang terjadi sewaktu
dua atau lebih objek mempengaruhi atau memiliki efek satu sama lain. Ide efek
dua arah ini penting dalam konsep interaksi, sebagai lawan dari hubungan satu
arah pada sebab akibat. Kombinasi dari interaksi-interaksi sederhana dapat
menuntun pada suatu fenomena baru yang mengejutkan. Dalam berbagai bidang ilmu,
interaksi memiliki makna yang berbeda.[1]
Adapun edukatif yaitu pendidikan. Jadi bisa kita ambil kesimpulan bahwa
interaksi edukatif itu adalah suatu hubungan atau tindakan yang berkaitan
dengan pendidikan.
Apa bila dua orang saling berinteraksi namun tanpa adanya unsur
pendidikan di dalamnya maka bisa di bilang itu bukan interaksi edukatif.
Definisi lain mengatakan bahwa Interaksi edukatif adalah interaksi
yang berlangsung dalam suatu ikatan untuk tujuan pendidikan dan pengajaran.dalam
artian yang lebih spesifik pada bidang pengajaran dikenal dengan istilah
interaksi belajar mengajar.[2]
interaksi belajar mengajar mengandung suatu arti adanya kegiatan interaksi dari
pengajar yang melaksanakan tugas mengajar di suatu pihak dengan warga belajar (
siswa, anak didik, subjek belajar ) yang sedang melaksanakan kegiatan belajar
dipihak lain.
Dalam setiap bentuk interaksi
edukatif mengandung dua unsur
pokok; unsur teknis dan unsur normatif .
Dalam unsur normatif, antara guru ( sebagai pendidik), dan peserta didik harus
berpegang pada norma yang diyakini bersama. Misalnya dalam pengajaran PMP guru
dan peserta didik harus meyakini pancasila sebagai falsafah hidup bangsa
Indonesia.pengajaran sebagai bagian dari pendidikan, sedangkan pendidikan
bersifat normatif. Sedangkan suatu pendidikan dapat dirumuskan pula secara
teknis dan merupakan pristiwa yang memiliki aspek teknis. Pendidikan sebagai
kegiatan praktis yang berlangsung dalam suatu masa, terikat dalam situasi,
terarah pada satu tujuan. pristiwa ini adalah suatu rentetan kegiatan saling
mempengaruhi, satu rangkaian perubahan
dan pertumbuhan serta perkembangan fungsi-fungsi psikis dan pisik.dalam
rangkaiannya tersebut pristiwa yang menuju kepada pembentukan itu sendiri merupakan suatu
proses teknis. Setiap aktifitas pengajaran tidak dapat dilepaskan dari segi
teknis semisal bagaimana upaya untuk membentuk manusia yang beriman dan bertakwa terhadap tuhan yang maha esa dan
berbudi pekerti luhur, memiliki pengetahuan
dan ketrampilan, kesehatan jasmani dan rohani, kepribadian yang mantap
dan mandiri serta rasa tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan.
Menurut
R D CORNERS. Tugas mengajar guru dapat dibagi dalam tiga tahapan, yaitu:[3]
a)
Tahap
Sebelum Pengajaran
Dalam tahap ini guru harus menyusun program tahunan pelaksanaan
kurikulum, program semester, program satuan pelajaran (satpel), dan perencanaan
program pengajaran. Dalam merencanakan program-program tersebut di atas perlu
dipertimbangkan aspek-aspek yang berkaitan dengan :
·
Bekal
bawaan anak didik
·
Perumusan
tujuan pembelajaran
·
Pemilihan
metode
·
Pemilihan
pengalaman – pengalaman belajar
·
Pemilihan
bahan dan peralatan belajar
·
Mempertimbangkan
jumlah dan karakteristik anak didik
·
Mempertimbangkan
jumlah jam pelajaran yang tersedia
·
Mempertimbangkan
pola pengelompokan
·
Mempertimbangkan
prinsip – prinsip belajar
b)
Tahap
Pengajaran
Dalam tahap ini berlangsung
beberapa interaksi , yaitu: { interaksi antara guru dengan anak didik},{
anak didik dengan anak didik}, {anak didik dalam kelompok} atau {anak didik
secara individual}. Tahap ini merupakan tahap pelaksanaan apa yang telah
direncanakan. Ada beberapa aspek yang perlu di pertimbangkan dalam tahap
pengajaran ini, yaitu :
·
Pengelolaan
dan pengendalian kelas
·
Penyampaian
informasi
·
Penggunaan
tingkah laku verbal non verbal
·
Merangsang
tanggapan balik dari anak didik
·
Mempertimbangkan
prinsip – prinsip belajar
·
Mendiagnosis
kesulitan belajar
·
Memperimbangkan
perbedaan individual
·
Mengevaluasi
kegiatan interaksi
c)
Tahap
Sesudah Pengajaran
Tahap ini merupakan kegiatan atau perbuatan
setelah pertemuan tatap muka dengan anak didik. Beberapa perbuatan guru yang
dilakukan pada tahap sesudah mengajar, antara lain :
·
Menilai
Pekerjaan anak didik
·
Menilai
pengajaran guru
·
Membuat
perencanaan untuk pertemuan berikutnya
2.
Komponen-komponen
Interaksi edukatif dari segi kejiwaan
Komponen adalah suatu bahan atau alat yang menunjang sebuah
kegiatan terjadi. Tanpa adanya komponen-komponen yang tersusun maka sebuah
kegiatan tidak akan terjadi. Misalnya saja di dalam handphone ada komponen yang
di sebut sim card, apa bila sim card tidak ada maka kegunaan handphone sebagai
alat komunikasi tidak sempurna, atau sim cardnya ada akan tetapi pemasangannya
terbalik maka handphone juga tidak akan berfungsi.
Interaksi
edukatif mempunyai sejumlah komponen sebagai berikuti:
·
Tujuan
·
Bahan
pelajaran
·
Kegiatan
belajar mengajar
·
Metode
·
Alat
·
Sumber
pelajaran
·
Evaluasi
·
Kegiatan
yang jelas
Adapun
komponen interaksi edukatif dari segi kejiwaan yaitu mengajar menggunakan hati.
3.
Tujuan
interaksi edukatif
Jalur dari interaksi pendidikan berawal dari seorang guru yang
membawakan bahan ajar kepada siswa yang mengambil bahan ajar. Apa bila bahan
ajar ini bisa di terima oleh siswa, maka tujuan umum dari interaksi edukatif
tercapai.
Di antara tujuan dari interaksi edukatif adalah adanya indikator
keberhasilan yang di capai siswa dalam pembelajaran. Misalnya saja mengajar
tentang cara shalat dengan interaksi edukatif dengan indikator kberhasilannya
adalah siswa mampu melakukan praktek shalat dan pada kenyataannya siswa mampu
melaksanakan shalat sebagaimana yang sudah di ajarkan.
Selain itu tujuan interaksi edukatif adalah mampu membuat peserta
didik mampu mengetahui hal-hal yang awalnya tidak tahu, serta bisa mempraktekan
apa yang sudah di ajarkan.
C.
SIMPULAN
penulis pernah
melihat sebuah sekolah pendidikan yang durasi pengajarannya hanya satu jam
sampai 5 jam perhari, akan tetapi bagi murid yang sekolah tersebut amat sangan
lama dan membosankan, ada yang ngantuk, ada yang bermain dengan keiatannya
sendiri bahkan ada yang tertidur sambil duduk!.
Di sisi lain, disekolah luar negri seperti di malaysia, singapura,
dan cina memiliki durasi pengajaran yang lebih panjang yakni 8 jam, bahkan ada
yang sampai larut malam. Di lihat dari sisi psikologi siswanya, mereka terlihat
fun, gembira, dan betah di sekolah.
Di indonesia pun juga ada yang seperti itu, yaitu waktu sekolah
selama 8 jam, masuk pukul 8 pagi dan pulang pukul 4 sore.
Yang jadi permasalahan adalah kenapa durasi pendidikan yang pendek
membuat siswa malas sedangkan durasi yang panjang membuat siswa betah?
amatan dan pengalaman penulis di antara alasan yang membuat siswa
malas, ngantuk dan lemas adalah metode pengajaran yang mono tone sehingga
membuat siswa tidak betah, sepenting apa pun mata pelajaran jika di sampaikan
dengan cara yang tidak tepat maka hasil yang di dapat tidak maksimal.
si pendidikan yang panjang yakni 8 jam, mampu membuat siswa betah
belajar di karenakan metode dan cara penyampaiannya yang menyenangkan. Pihak
sekolah sudah mengemas sedemikian rupa model-model pembelajaran sehingga durasi
wktu 8 jam terasa singkat.
Contohnya ketika penulis sedang menempuh pendidikan di sebuah
lembaga pemerintahan dengan jurusan kelistrikan, yang durasi pendidikannya juga
8 jam sehari. Mungkin akan kebayang belajar sistem kelistrikan yang penuh
dengan rumus, hitung menghitung yang notabenenya membosankan, justru sangat di
nikmati oleh siswa termasuk penulis bahkan waktu istrahat pun enggan keluar
kelas. Hal ini karena sistem belajarnya di penuhi dengan praktek langsung
sehingga siswa merasa belajar sambil bermain. Yang namanya orang bermain tentu
tidak kenal waktu.
Kesimpulan dari analisis penulis adalah sehebat apa pun sebuah
lembaga pendidikan, setinggi apa pun pangkat seorang guru, jika interaksi
edukatifnya tidak ada, maka sia-sialah pendidikan itu. Oleh karena itu
interaksi edukatif berperan penting untuk menunjang kesuksesan belajar.
DAFTAR PUSTAKA
H. Abdullah, Sosiologi Pendidikan, PT Rajagrafindo Persada.
Jakarta: 2013
Muhibbin Syah. Psikologi Belajar. PT Rajagrafindo Persada. Jakarta:
2013
Abu Ahmadi, joko Tri Prasetya. Strategi Belajar Mengajar. CV.
Pustaka Setia. Bandung : 2005
Interaksi Edukatif.pdf di ambil dari makalah FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET S U R A K A R T A
http://id.wikipedia.org
MAKALAH
KEMATANGAN DAN KESIAPAN DALAM
BELAJAR
Dipresentasikan
Dalam Forum Diskusi Kelas
Mata Kuliah :
Psikologi
Pendidikan
Dosen Pengampu :
Drs. SUPRIATNO,
M.Pd.I
Disusun Oleh :
Kelompok 2
|
No
|
Nama
|
NPM
|
|
1
|
Jahrani
|
12.12.2938
|
|
2
|
M. Hairul Anwar
|
12.12.2944
|
|
3
|
M. Arifin
|
12.12.2943
|
|
4
|
Mustikah
|
12.12.2958
|
|
5
|
Noor
Hidayah
|
12.12.2966
|
|
6
|
Yuni Oktaviana
|
12.12.2983
|
SEKOLAH TINGGI
AGAMA ISLAM (STAI)
DARUSSALAM
MARTAPURA
MARTAPURA
2014
A.
PENDAHULUAN
Ilmu psikologi adalah ilmu yang
mempelajari gejala jiwa.Maka dari itu, psikologi pendidikan adalah ilmu yang
mempelajari tentang gejala-gejala jiwa yang berkenaan tentang pendidikan,
misalnya tentang belajar dan berbagai aspeknya. Dalam hal belajar ini terdapat
berbagai aspek yang salah satunya mengenai hal kematangan dalam hal belajar.
Dalam buku Child Development, Elizabeth B. Hurlock mengemukakan bahwa
perkembangan pribadi manusia itu merupakan hasil atau akibat daripada kematangan
dan belajar.
Mungkin
masih sangat membingungkan apa yang dimaksud dengan kematangan, aspek-aspeknya,
prinsip-prinsipnya dan hubungan antara anak dengan kematangan dan kesiapan anak
dalam belajar. Oleh karena itu, sehubungan dengan judul makalah ini mengenai
kematangan maka kami akan mencoba membahasnya sedetail mungkin.
B.
KEMATANGAN
DAN KESIAPAN BELAJAR
1.
Pengertian
dan Prinsip-prinsip Kematangan
Kematangan adalah kemampuan seseorang untuk berbuat seseuatu
dengan cara-cara tertentu. Singkatnya ia telah memiliki intelegensi.
Intelegensi itu ialah faktor total.Berbagai macam daya jiwa erat bersangkutan
di dalamnya (ingatan, fantasi, perasaan, perhatian, minat dan sebagainya) turut
mempengaruhi intelegensi seseorang.
Kematang disebabkan karena perubahan “genes” yang mentukan
perkembangan struktur fisiologi dalam system saraf, otak dan indra sehingga
semua itu memungkuinkan individu matang menngadakan reaksi-reaksi terhadap
setiap stimulus lingkungan.
Dari definisi di atas dapat di artikan bahwa kematangan
adalah keadaan atau kondisi bentuk, struktur dan kondisi yang lengkap atau
dewasa pada suatu organism, baik terhadap suatu sifat, bahkan seringkali semua
sifat.
Kematangan (maturation) membentuk sifat dan kekuatan dalam
diri untuk bereaksi dengan cara tertentu, yang disebut “readiness” (kesiapan).
Readiness yang dimaksud yaitu readiness untuk bertingkah laku yang
instingtif,maupun tingkah laku yang dipelajari.
Yang dimaksud dengan tingkah laku instingtif,yaitu suatu
pola tingkah laku yang diwariskan(melalui proses hereditas).
Ada 3 ciri tingkah
laku instingtif :
1. Tingkah laku instingtif terjadi
menurut pola pertumbuhan herediter.
2. Tingkah laku instingtif adalah tanpa
didahului dengan latihan atau praktek sebelumnya.
3. Tingkah laku yangf instingtif
berulang setiap saat tanpa ada saraf yang menggerakkan nya.
Tingkah laku instingtif ini biasanya
terjadi karena adanya kematangan seksual,atau fungsi saraf.yang termasuk
tingkah laku yang diwariskan adalah bukan hanya tungkah laku
insting.reaksi-reaksi psikologis seperti, reflex, takut, berani, haus,lapar,
marah, tertawa, dan lain-lain adalah tidak usah dipelajari melainkan sudah
diwariskan.
Tingkah laku apapun yang dipelajari,
memerlukan kematangan. Orang tak akan dapat berbuat secara iteligen apabila
kapasitas itelektualnya belum memungkinkanya. Untuk itu kematangan dalam
struktur otak dan system saraf sangat diperlukan.Dalam kehidupan individu,
banyak hal yang tidak dapat dilakukan atau diperoleh hanya dengan kematangan,
melainkan harus dipelajari.Misalnya mengenai, kemampuan berbicara, membaca,
menulis dan berhitung.Dalam hal ini melakukan aktivitas-aktivitas semacam itu,
kematangan memang tetap diperlukan sebagai penentu readiress untuk belajar.
Seseorang baru dapat belajar tentang
sesuatu apabila di dalam dirinya sudah terdapat “readiness” untuk mempelajari
sesuatu itu. Ada orang yang mengartikan readiness sebagai kesiapan atau
kesediaan seseorang untuk berbuat sesuatu.
Readiness dalam belajar melibatkan
beberapa faktor yang bersama-sama membentuk readiness, yaitu:
1. Perlengkapan dan pertumbuhan
fisiologis; ini menyangkut pertumbuhan terhadap perlengkapan pribadi seperti
tubuh pada umumnya, alat-alat indra, dan kapasitas intelektual.
2. Motivasi; yang menyangkut kebutuhan,
minat serta tujuan tertentu individu untuk mempertahankan serta mengembangkan
diri. Motivasi berhubunagn dengan system kebutuhan dalam diri manusia serta
tekanan-tekanan lingkungan.
Dengan
demikian, readiness seseorang itu senantiasa mengalami perubahan setiap hari
sebagai akibat dari pertumbuhan dan perkembangan fisiologis individu serta
adanya desakan-desakan dari lingkungan seseorang.
Perkembangan
readiness terjadi dengan mengikuti prinsip-prinsip tertentu. Adapun
prinsip-prinsip tersebut ialah sebagaia berikut:
1. Semua aspek pertumubuhan
berinteraksi dan bersama membentuk readiness.
2. Pengalaman seseorang ikut
mempengaruhi pertumbuhan fisiologis individu.
3. Pengalaman mempunyai efek kumulatif
dalam perkembangan fungsi-fungsi kepribadian inidividu, baik yang jasmaniah
maupun yang rohaniah.
4. Apabila readiness untuk melaksanakan
kegiatan tertentu terbentuk pada diri seseorang, maka saat-saat tertentu dalam
kehidupan seseorang merupakan masa formatif bagi perkembangan pribadinya.
Berdasarkan
prinsip-prinsip tersebut, jelaslah bahwa apa yang telah dicapai oleh seseorang
pada masa-masa yang lalu akan mempunyai arti bagi aktifitas-aktifitasnya
sekarang. Apa yang telah terjadi pada saat sekarang akan memberikan sumbangan
terhadap readiness individu di masa mendatang.
2.
Kematangan
sebagai dasar kesiapan belajar
Laju perkembangan rohani dipengaruhi oleh laju pertumbuhan jasmani,
demikian sebaliknya. Pertumbuhan dan perkembangan itu pada umumnya berjalan
selaras dan pada tahap-tahap tertentu menghasilkan suatu “kematangan”, baik
kematangan jasmani maupun kematangan mental.
Istilah kematangan, yang dalam bahasa inggris disebut dengan
maturation, sering dilawankan dengan immaturation, yang artinya tidak matang.
Seperti pertumbuhan, kematangan juga berasal dari istilah yang sering digunakan
dalam biologi, yang menunjuk pada kera numan atau kematangan. Kemudian istilah
ini diambil untuk digunakan dalam perkembangan individu karena dipandang
terdapat kesesuaian.
Chaplin (2002)
mengartikan kematangan (maturation) sebagai: (1) perkembangan, proses mencapai
kemasakan/usia masak, (2) proses perkembangan, yang dianggap berasal dari
keturunan, atau merupakan tingkah laku khusus spesies (jenis, rumpun).
Sementara itu,
Davidoff (1988), menggunakan istilah kematangan (maturation) untuk menunjuk
pada munculnya pola perilaku tertentu yang tergantung pada tumbuhan jasmani dan
kesiapan susunan saraf. Proses kematangan ini juga sangat tergantung pada gen,
karena pada saat terjadinya pembuahan, gen sudah memprogramkan potensi-potensi
tertentu untuk perkembangan makhluk tersebut di kemudian hari. Bannyak dari
potensi-potensi tersebut yang sudah lengkap ketika ia dilahirkan, dan ini dapat
terlihat dari perjalanan perkembangan makhluk itu secara perlahan-lahan di
kemudian hari.
Jadi kematangan itu sebenarnya merupakan
suatu potensi yang dibawa individu sejak lahir, timbul dan bersatu dengan
pembawaannya serta turut mengatur pola perkembangan tingkah laku individu.
Meskipun demikian, kematangan tidak dapat dikatagorikan sebagai faktor
keturunan atau pembawaan, karena kematangan ini merupakan suatu sifat tersendiri
yang umum dimiliki oleh setiap individu dalam bentuk dan masa tertentu.
C.
SIMPULAN
Kematangan
adalah kemampuan seseorang untuk berbuat seseuatu dengan cara-cara tertentu.
Singkatnya ia telah memiliki intelegensi. Intelegensi itu ialah faktor total.Berbagai
macam jiwa erat bersangkutan di dalamnya (ingatan, fantasi, perasaan,
perhatian, minat dan sebagainya yang turut mempegaruhi intelegensi seseorang).
Prinsip-prinsip
pembentukan kematangan, di antaranya:
1)
Semua aspek pertumubuhan berinteraksi dan bersama membentuk
readiness.
2)
Pengalaman seseorang ikut mempengaruhi pertumbuhan
fisiologis individu.
3)
Pengalaman mempunyai efek kumulatif dalam perkembangan
fungsi-fungsi kepribadian inidividu, baik yang jasmaniah maupun yang rohaniah.
4)
Apabila readiness untuk melaksanakan kegiatan tertentu
terbentuk pada diri seseorang, maka saat-saat tertentu dalam kehidupan
seseorang merupakan masa formatif bagi perkembangan pribadinya.
DAFTAR KEPUSTAKAAN
Soemanto,
Wasty. 1998. Psikologi Pendidikan. Jakarta: PT Rineka Cipta.
Sabri,
M Alisuf. 1996. Psikologi Pendidikan. Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya.
Dalyono,
M. 1997. Psikologi Pendidikan. Jakarta: PT Rineka Cipta.
Wiwien Dinar pratisti. 2008.
psikologi anak usia dini.surakarta: PT macanan jaya cemerlang.
Desmita. 2009. Psikologi perkembangan.
Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
MAKALAH
KONSEP DASAR BELAJAR
Mata Kuliah :
PSIKOLOGI PENDIDIKAN
Dosen Pengampu :
Drs. SUPRIATNO. M.
Pd.i
Disusun Oleh :
|
No
|
Nama
|
NPM
|
Status
|
|
1
|
Habibullah
|
12.12.2932
|
Ketua
|
|
2
|
Miriatul Hikmah
|
12.12.2951
|
Anggota
|
|
3
|
Milawati
|
12.12.2950
|
Bendahara
|
|
4
|
Rif’atul Aspia
|
12.12.2972
|
sekretaris
|
|
5
|
Surya Kencana
|
12.12.2980
|
Anggota
|
|
6
|
Zainuri
|
12.12.2984
|
Anggota
|
SEKOLAH TINGGI
AGAMA ISLAM (STAI)
DARUSSALAM
MARTAPURA
TAHUN 2014
M/1435 H
KONSEP
DASAR BELAJAR
A. Pendahuluan
Belajar
adalah kunci yang paling utamadari setiap usaha pendidikan. Jadi, tanpa adanya
proses belajar maka sesungguhnya tidak akan
pernah ada pendididkan, hal ini dikarenakan proses belajar selalu
mendapatkan tempat yang luas dalam berbagai disiplin ilmu yang berhubungan
dengan upaya kependidikan, contohnya psikologi pendidikan dan psikologi
belajar.
Konsep
dasar belajar merupakan kegiatan yang berproses dalam memakai unsure yang
sangat fundamental dalam penyelenggaraan setiap jenis dan jejnjang pendidikan.
Artinya berhasil atau tidaknya pencapaian tujuan pendidikan amat bergantung
pada proses belajar yang dijalani siswa baik dirumah ataupun di sekolah.[4]
Ada
berbagai bentuk belajar seperti belajar abstrak, keterampilan, social, belajar
pemecahan masalah, berfikir rasional, kebiasaan, apersiasi, dan pengetahuan.
Selain itu untuk memaksimalkan pembelajaran juga ada prinsip-prinsip di dalam
belajar sehingga proses belajar akan berjalan dengan maksimal.
B. Konsep Dasar Belajar
Sebelum
kita membahas lebih jauh mengenai konsep dasar belajar, ada baiknya kita
mengatahui apa sebenarnya pengertian belajar dan apa tujuan serta manfaat dari
belajar.
1.
Pengertian
Belajar
Belajar
ialah proses mencari ilmu untuk mengubah diri dengan baik, sesuai dengan
tingkat keilmuan yang dicapai.[5]
Beberapa pakar memiliki pendapat terkait dengan pengertian belajar diantaranya:
a.
S.Nasution
M.A mendefenisikan belajar sebagai perubahan kelakuan, dan pengalaman. Jadi
belajar membawa suatu perubahan pada individu yang belajar. Perubahan itu tidak
hanya mengenai sejumlah pengalaman, pengetahuan, melainkan juga membentuk
kecakapan, kebiasaan, sikap, pemahaman, penyesuaian diri. Dalam hal ini
meliputi segala aspek organisasi atau pribadi individu yang belajar.[6]
b. Cronbach
berpendapat bahwa belajar sebagai suatu aktivitas yang ditunjukkan oleh
perubahan tingkah laku sebagai hasil dari pengalaman.
c. Howard
L. Kingskey berpandapat bahwa belajar adalah proses, dimana tingkah laku
ditimbulkan atau diubah melalui prakti atau latihan.
d. Geoch
merumuskan bahwa belajar adalah perubahan panampilan sebagai hasil dari
praktik.[7]
e. Sudjana
mengartikan belajar sebagai proses melihat, mengamati dan memahami sesuatu.
f. Whitherington
menyebutkan bahwa belajarmerupakan perubahan dalam kepribadian yang
dimanifestasikan sebagai suatu pola-pola respon yang berupa keterampilan,
sikap, kebiasaan, kecakapan atau pemahaman.
g. Masrun,
Sri Mulyani
Belajar adalah proses perubahan lahir
dan batin dimana perubahan yang terjadi bersifat positif dan relatif permanen.
h. Morgan
Belajar adalah segala perubahan
prilakuyang relative permanen yang muncul sebagai akibat dari latihan dan
pengalaman.
Dari
beberapa pengertian diatas dapat disimpulkan beberapa hal mengenai belajar
sebagai berikut :
a. Belajar
adalah suatu proses, yaitu kegiatan yang
berkesinambungan yang dimulai sejak lahir dan terus berlangsung seumur hidup.
b. Dalam
belajar terjadi adanya perubahan tingkah laku yang bersifat relatif permanen.
c. Hasil
belajar ditunjukkan dengan aktifitas-aktifitas tingkah laku secara keseluruhan.
d. Adanya
peranan kepribadian dalam proses belajar antara lain aspek motivasi, emosional,
sikap, dan sebagainya.
Sedangkan
tujuan dari belajar ialah untuk mendapatkan ilmu, menghilangkan kebodohan,
mengejar ketertinggalan, serta menguasai segala macam pengetahuan dan
teknologi, demi mendapatkan ridha Allah S.W.T. adapun manfaat yang kita peroleh
dari belajar ialah mendapatkan ilmu, memperteguh ilmu pengetahuan, mengubah
sikap dan prilaku, membangun peradaban kemanusiaan yang unggul dan terakhir
menggapai ridho sang pencipta.
2. Bentuk-bentuk
Belajar
Menurut Muhibbin Syah, bentuk-bentuk
belajar yang umum di jumpai dalam prosespembelajaran anatara lain adalah:
a. Belajar
Abstrak
Ialah
belajar yang menggunakan cara-cara berfikir abstrak. Tujuannya adalah untuk
memperoleh pemahaman dan pemecahan masalah.
b. Belajar
Keterampilan
Adalah
belajar dengan menggunakan gerakan-gerakan motorik yakni yang berhubungan
dengan urat-urat syaraf. Tujannya adalah untuk memperoleh dan menguasai
keterampilan jasmani tertentu.
c. Belajar
Sosial
Adalah
belajar memahami masalah-masalah dan teknik-teknik untuk memecahakan masalah
tersebut. Tujuannya adalah untuk menguasai pemahaman dan kecakapan dalam
memecahkan masalah-masalah sosial.
d. Belajar
Pemecahan Masalah
Adalah
belajar menggunakan metode ilmiah atau berfikir secara sistematis, logis,
teratur, dan teliti. Tujuannya adalah untuk memperoleh kemampuan dan kecakapan
kognetif untuk memecahkan masalah secara rasional, lugas, dan tuntas.
e. Belajar
Rasional
Ialah
belajar dengan menggunakan kemampuan berfikir secara logis dan sistematis.
Tujuannya ialah untuk memperoleh berbagai kecakapan menggunakan prinsi-prinsip
dan konsep-konsep.
f. Belajar
Kebiasaan
Adalah
proses pembentukan kebiasaan-kebiasaan baru atau perbaikan kebiasaan-kebiasaan
yang telah ada. Belajar kebiasaan, selain menggunakan perintah, suri tauladan,
dan pengalaman khusus, jga menggunakan hukuman dan ganjaran. Tujuannya agar
siswa memparolehsikap-sikap dan kebiasaan-kebiasaan baru yang lebih tepat dan
positif.
g. Belajar
Apersiasi
Adalah
belajar mempertimbangakan arti penting atau nilai suatu objek. Tujuannya adalah
agar siswa memperoleh dan mengembangkan kecakapan ranah afektif yang dalam hal
ini kemampuan mengahargai secara tepat terhadap nilai objek tertentu, misalnya
apresiasi sastra, apresiasi musik dan sebagainya.
h. Belajar
Pengetahuan
Ialah
belajar dengan cara melakukan penyelidikan mendalam terhadapobjek pengetahuan
tertentu. Tujuannya adalah agar siswa memperoleh atau menambah informasidan
pemahaman terhadap pengetahuan tertentu yang biasanya lebih rumit dan
memerlukan kiat khusus dalam mempelajarinya.[8]
3. Prinsip-prinsip
Dalam Belajar
a. Prinsip
kesiapan
Yaitu
kondisi dimana individu telah siap dalam menerima pelajaran atau suatu kondisi
yang memungkinkan baginya dalam menerima pelajaran.
Yang
termasuk kepada kesiapan ini ialah kematangan dan pertumbuhan fisik,
intelegensi latar belakang pengalaman, hasil belajar, motivasi, persepsi, dan
lain-lain.
Berdasarkan dari
prinsip kesiapan ini dapat dikemukakan hal-hal berikut:
1) Seorang
individu akan dapat belajar denan sebaik-baiknya bila tugas-tugas yang
diberikan kepadanya erat hubungannya dengan kemampuan, minat, dan latar
belakangnya.
2) Kesiapan
untuk belajar harus dikaji bahkan diduga. Artinya bila seorang guru ingin mendapat
gambaran kesiapan muridnya untuk mempelajari sesuatu, ia harus melakukan
pengetasan kesiapan dengan cara menanyai murid mengenai apa yang ia telah
ketahui mengeanai materi yang akan dibahas.
3) Jika
seorang individu kurang memiliki kesiapanuntuk sesuatu tugas, kemudian tugas
itu ia tunda sampai dapat dikembangkannyakesiapan itu atau guru sengaja menata
tugas itu sesuai dengan kesiapan siswa.
4) Kesiapan
untuk belajar mencerminkan jenis dan taraf kesiapan, misalnya dua orang siswa
yang memiliki kecerdasan yang sama mungkin amat berbeda dalam pola kemampuan
mentalnya.
5) Bahan-bahan,
kegiatan dan tugas seyogyanya divariasikan sesuai dengan faktorkesiapan
kognitif, afektif dan psikomotor dari berbagai individu.
b. Prinsip
Motivasi
Yaitu
perinsip yang juga sekaligus menjadi tujuan murid tentang mengapa ia harus
belajar. Dengan adanya motivasi maka setiap siswa akan terus berpacu kedepan
demi mencapai tujuannya.
c. Prinsip
Persepsi
Prinsip
persepsi lebih cenderung kepada sudut pandang seseorang dalam memahami
lingkungan dan keadaan sekitar, sehingga hasil pemahaman seseorang dalam
belajarpun juga di pengaruhi oleh adanya persepsi ini, jika seorang guru tahu
bagaimana sudut pandang dari setiap muridnya maka hal ini pasti akan
berpengaruh sangat besar terhadap pemahaman seorang murid terkait dengan proses
pembelajaran.
d. Prinsip
Tujuan
Tujuan
ialah sasaran khusus yang akan menjadi target dalam proses pembelajaran sebagai
hasil yang akan dicapai setelah proses pembelajaran tersebut selesai. Sehingga
tujuan haruslah tergambar jelas pada semua pelajar dan dapat diterima oleh para
pelajar saat proses pembelajaran.
e. Prinsip
Perbedaan Individual
Setiap
murid memiliki perbedaan pada individulnya masing-masing. Oleh sebab itu
seorang guru harus mampu menyesuaikan diri dengan adanya perbedaan-perbedaan
tersebut. Karena jika guru hanya terpaku kepada satu tingkat saja maka proses
pembelajaran tidak akan akan dapat berlangsung dengan sempurna. Hal ini
dikarenakan karena hanya orang-orang tertentu saja yang dapat memahami
palajaran yang diberikan.
f. Prinsip
Transfer dan Retensi
Yaitu
proses dimana murid menerima pelajaran dari guru (transfer) dan murid tersebut
dapat mengamalkannya dalam kehidupannya (retansi).
g. Prinsip
Belajar Afektif
Yaitu
keadaan dimana seseorang berusaha
menemukan cara bagaimananya ia menghubungkan dirinya dengan pengalaman
yang baru.
h. Prinsip
Belajar Psikomotor
Prinsip
yang satu ini menekankan pada proses mental dan fisik, yaitu bagaimana cara
anak berfikir dan menyampaikan pendapatnya berkenaan dengan materi pembelajaran
yang diberikan.
i.
Prinsip Evaluasi
Pelaksanaan
evaluasi ditujukan untuk mengatahui sudah sejauh mana proses pembelajaran
tersebut dalam mendekati atau bahkan mencapai tujuannya.
C. Simpulan
Jadi
dengan adanya konsep dasar belajar maka seseorang akan mampu untuk menjadi
pribadi yang lebih baik, yang mana hal ini turur ditunjang oleh adanya proses
belajar yang terus berjalan seumur hidupnya. Meskipun manusia beberbeda-beda
namun ia teteplah mapu untuk belajar dengan caranya masing-masing dan untuk
mencapai tujuan hidupnya ia pun akan terus melaju dengan berpagang teguh
pada prinsip yang di pengangnya.
Daftar
Pustaka
Asmani, Jamal Ma’mur. 2009.
Jurus-jurus Belajar Efektif. Yoyyakarta: Diva Press.
Nasution, berbagai pendekatan dalam proses belajar mengajar,
Jakarta : Bina Aksara, 1988, hlm. 68.
MAKALAH
AKTIVITAS BELAJAR
Diperesentasikan Dalam
Forom Diskusi Kelas
Mata Kuliah;
Psikologi Pendidikan
Dosen Pengampu:
Drs. SUPRIATNO. M.Pd.I
Disusun Oleh:
|
NO
|
NNNAN NAMA
|
N
P M
|
STATUS
|
|
1
|
Amrullah
|
12.12.2921
|
Ketua
|
|
2
|
Henny
Anggraini
|
12.12.2936
|
Anggota
|
|
3
|
M.Hanafi
|
12.12.2945
|
Bendahara
|
|
4
|
Muthia
Husna
|
12.12.2959
|
Anggota
|
|
5
|
Robiyannor
|
12.12.2973
|
Wakil
|
|
6
|
St.Nur
Jannah
|
12.12.2977
|
Sekretaris
|
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM (STAI)
DARUSSALAM MARTAPURA
MARTAPURA
2014
AKTIVITAS BELAJAR
A.
Pendahuluan
Psikologi merupakan salah satu
cabang ilmu pengetahuan yang membahas mengenai masalah kejiwaan manusia. Dalam dunia pendidikan, ilmu psikologi ini digunakan untuk membantu mengenali jiwa anak didik dari tiga aspek yaitu kognitif, afektif dan psikomotor agar dalam proses belajar mengajar
semakin lancar. Hubungan psikologi dengan pendidikan dan pembelajaran sangat
erat sekali, karena dengan mempelajari ilmu kejiwaan seorang guru dapat
memberikan pendidikan dan pembelajaran sesuai dengan perkembangan peserta didik.
Peran guru saat ini diarahkan untuk menjadi fasilitator yang dapat membantu siswa dalam belajar,
bukan sekedar menyampaikan materi saja. Guru harus mampu melibatkan siswa dalam
kegiatan pembelajara secara optimal.
Hal-hal seperti berikut, diantaranya Guru telah mengajar dengan baik,
ada siswa yang belajar dengan giat, siswa yang berpura-pura belajar, siswa
yang belajar dengan setengah hati, bahkan adapula siswa yang sesungguhnya tidak
belajar. Maka dari itu, sebagai Guru yang professional harus berusaha mendorong
siswa agar belajar dengan baik. Keadaan tersebut
menggambarkan bahwa pengetahuan tentang aktivitas belajar dan
faktor-faktor belajar merupakan hal yang sangat penting diketahui bagi seorang
Guru dan calon Guru[9].
B.
Aktivitas Belajar
Pengertian aktivitas menurut para ahli:
a)
Menurut Anton M.
Mulyono, aktivitas artinya “kegiatan atau keaktifan”. Jadi segala sesuatu yang
dilakukan atau kegiatan-kegiatan yang terjadi baik fisik maupun non-fisik,
merupakan suatu aktifitas.
b)
Menurut W.J.S. Poewadarminto aktifitas adalah kegiatan atau
kesibukan.
c)
Menurut Sriyono,
aktivitas adalah segala kegiatan yang dilaksanakan baik secara jasmani
atau rohani.
Pengertian belajar menurut para ahli:
a)
Menurut Oemar Hamalik,
belajar adalah suatu proses perubahan tingkah laku individu melalui interaksi
dengan lingkungan. Aspek tingkah laku tersebut adalah: pengetahuan,
pengertian, kebiasaan ,keterampilan, apresiasi, emosional, hubungan sosial,
jasmani, etis atau budi pekerti dan sikap.
b)
Menurut Sardiman A.M,
belajar merupakan suatu proses interaksi antara diri manusia dengan
lingkungannya yang mungkin berwujud pribadi, fakta, konsep ataupun teori.
c)
Menurut H. Carl. Witherington
dalam bukunya Drs.Mahfud Shalahuddin yang berjudul "pengantar psikologi
pendidikan", belajar adalah suatu perubahan di dalam kepribadian,
yang menyatakan diri sebagai suatu pola baru dari reaksi yang berupa kecakapan,
sikap, kebiasaan, kepandaian, atau suatu pengertian.
Dari
pengertian-pengertian para ahli diatas dapat disimpulkan bahwa aktivitas
belajar merupakan suatu proses kegiatan belajar siswa yang menimbulkan
perubahan-perubahan atau pembaharuan dalam tingkah laku atau kecakapan[10].
Belajar bukanlah
berproses dalam kehampaan. Tidak pula pernah sepi dari berbagai aktivitas.
Tidak pernah terlihat orang yang belajar tanpa melibatkan aktivitas raganya.
Apalagi bila aktivitas belajar itu berhubunagan dengan masalah belajar menulis,
mencatat, memandang, membaca, megingat, berpikir, latihan atau praktek, dan
sebagainya.
Dalam belajar,
seseorang tidak akan dapat menghindarkan diri dari suatu situasi. Situasi akan
menentukan aktivitas apa yang dilakukan dalam rangka belajar. Bahkan situasi
itu lah yang mempengaruhi dan menentukan kativitas belajar apa yang akan
dilakukan kemudian. Setiap situasi di manapun dan kapanpun memberikan
kesempatan belajar kepada seseorang. Oleh karena itulah, berikut ini dibahas
beberapa aktivitas belajar, sebagai berikut[11] :
1.
Mendengarkan
Mendengarkan adalah
salah satu aktivitas belajar. Setiap orang yang belajar di sekolah pasti
ada aktivitas mendengarkan. Ketika seorang guru menggunakan metode ceramah,
maka setiap siswa atau mahasiswa diharuskan mendengarkan apa yang guru (dosen)
sampaikan. Di sela-sela ceramah itu,ada aktivitas mencatat hal-hal yang
dianggap penting. Tidak dapat disangkal bahwa
aktivitas mendengarkan adalah aktivitas belajar yang diakui kebenarannya
dalam dunia pendidikan dan pengajaran dalam pendidikan formal persekolahan,
ataupun non-formal.
Diakui memang bahwa
aktivitas mendengarkan bukan satu-satunya aktivitas belajar. Hal ini disebabkan
karena ada orang yang tuna runggu yang belajar tidak mempergunakan aktivitas
mendengarnya, tetapi hanya melalui visiual (penglihatan). Mereka belajar hanya
melalui gerakan-gerakan tangan dengan menggunakan simbol-simbol yang telah
dibakukan.
2.
Memandang
Memandang adalah
mengarahkan penglihatan ke suatu objek. Aktivitas memandang berhubungan erat
dengan mata. Karena dalam memandang itu matalah yang memegang peranan penting.
Tanpa mata tidak mungkin terjadi aktivitas memandang dapat dilakukan. Orang
buta pasti tidak dapat melihat. Maka dia tidak bisa memandang sesuatu yang
menjadi kebutuhannya.
Dalam pendidikan,
aktivitas memandang terrnasuk dalam kategori aktivitas belajar. Tapi perlu
diingat bahwa tidak semua aktivitas memandang berarti belajar. Aktivitas
memandang dalam arti belajar di sini adalah aktivitas memandang yang
bertujuan sesuai dengan kebutuhan untuk mengadakan perubahan tingkah laku yang
positif. Aktivitas memandang tanpa tujuan bukanlah termasuk perbuatan belajar.
Meski pandangan tertuju pada suatu objek, tetapi tidak adanya tujuan yang ingin
dicapai, maka pandangan yang demikian tidak termasuk belajar.
3.
Menulis atau mencatat
Menulis atau mencatat
merupakan kegiatan yang tidak terpisahkan dari aktivitas belajar. Tetapi tidak
setiap mencatat adalah belajar. Aktivitas mencatat yang bersifat menurut,
menciplak atau mengcopy tidak dapat dikatakan sebagai aktivitas belajar. Mencatat
yang termasuk sebagai aktivitas belajar yaitu apabila dalam mencatat itu orang
menyadari kebutuhan dan tujuannya, serta menggunakan seperangkat tertentu agar
catatan itu nantinya berguna bagi pencapaian tujuan belajar.
Dalam mencatat tidak
sekadar mencatat, tetapi mencatat yang dapat menunjang pencapaian tujuan
belajar. Maka dari itu jangan membuat catatan sembarangan, sebab bisa
mendatangkan kerugian material dan pemikiran. Akibat lainnya adalah akan
sia-sialah catatan itu, karena tidak bisa digunakan untuk kepentingan kemajuan
dan kesuksesan studi.
Catatan
sangat berguna untuk menampung sejumlah informasi, yang tidak hanya
bersifat fakta-fakta, melainkan juga terdiri atas materi hasil analisis dari
bahan bacaan.
4.
Meraba, Membau, dan Mencicipi/ Mengecap
Aktivitas meraba,
membau, dan mengecap adalah indra manusia yang dapat dijadikan sebagai alat
untuk kepentingan belajar. Artinya aktivitas meraba, membau, dan mengecap dapat
memberikan kesempatan bagi seseorang untuk belajar. Tentu saja
aktivitasnya harus disadari oleh suatu tujuan. Dengan demikian,
aktivitas-aktivitas meraba, aktivitas membau, ataupun aktivitas mengecap dapat
dikatakan belajar, apabila semua aktivitas itu didorong oleh kebutuhan,
motivasi untuk mencapai tujuan dengan menggunakan situasi tertentu untuk
memperoleh perubahan tingkah laku.
5.
Membaca
Aktivitas membaca
adalah aktivitas yang paling banyak dilakukan selama belajar di sekolah
atau di perguruan tinggi. Membaca di sini tidak mesti membaca buku belaka,
tetapi juga membaca majalah, koran, tabloid, jurnal-jurnal
hasil penelitian, catatan hasil belajar atau kuliah, dan hal-hal lainnya
yang berhubungan dengan kebutuhan studi.
Kalau belajar adalah
untuk mendapatkan ilmu pengetahuan, maka membaca adalah jalan menuju ke
pintu ilmu pengetahuan. Ini berarti untuk mendapatkan ilmu pengetahuan
tidak ada cara lain yang harus dilakukan kecuali memperbanyak membaca. Kalau
begitu membaca identik dengan mencari ilmu pengetahuan agar menjadi cerdas, dan
mengabaikannya berarti kebodohan.
Cara dan teknik seseorang
dalam membaca selalu menunjukkan perbedaan pada hal-hal tertentu. Oleh
karena itu, wajarlah bila belajar itu suatu seni, samahalnya mengajar adalah
seni (teaching as an art). Ada orang yang membaca buku sambil tidur-tiduran
dapat belajar dengan baik, ada orang yang membaca buku sambil mendengarkan
radio dapat belajar dengan baik, ada orang yang membaca buku tanpa suara
dapat belajar dengan baik, ada orang yang membaca buku dengan suara dapat
belajar dengan baik, ada orang yang membaca buku di antara keributan dapat
belajar dengan baik, dan sebagainya. Pendek kata, orang membaca buku dengan
berbagai cara agar dapat belajar. Dengan demikian, pemahaman atas diri
sendiri sangat penting, sehingga dapat memilih teknik yang mana yang lebih
sesuai dengan karakteristik pribadi, dengan tidak mengabaikan pola-pola
umum dalam belajar.
6.
Berpikir
Berpikir adalah termasuk aktivitas belajar. Dengan
berpikir orang memperoleh penemuan baru, setidak-tidaknya orang menjadi tahu
tentang hubungan antara sesuatu. Berpikir bukanlah sembarang berpikir, tetapi
ada taraf tertentu, dari taraf berpikir yang rendah sampai taraf berpikir
yang tinggi.
C. Simpulan
Dari penjelasan di atas tentang aktivitas
belajar dapat di ambil kesimpulan aktivitas belajar itu ialah kegiatan atau
kesibukan diri untuk merubah tingkah laku menjadi manusia yang berbudi pekerti
yang baik, dan sukses dimasa depan.
Dan juga dalam belajar
pasti ada aktivitas yaitu aktivitas belajar, dengan adanya aktivitas-aktivitas
belajar seperti mendengarkan, memandang, meraba,membau dan
mencicipi/mengecap,menulis atau mencatat, membaca dan juga berfikir. Insyaallah
bisa menjadi orang yang sukses dalam studi nya dimasa akan datang.
Daftar Pustaka
Djamarah, Syaiful Bahri (2008). Psikologi Belajar. Edisi
kedua. Jakarta:Reneka Cipta.
http://azrinamey.blogspot.com/2013/04/aktivitas-aktivitas-belajar.html
MAKALAH
TEORI & HUKUM BELAJAR
Dipresentasikan
Dalam Forum Diskusi Kelas
Mata Kuliah :
Psikologi
Pendidikan
Dosen Pengampu :
Drs. SUPRIATNO,
M.Pd.I
Disusun Oleh :
Kelompok 5
|
No
|
Nama
|
NPM
|
Status
|
|
1
|
Arif Rahman Hakim
|
12.12.2924
|
Ketua Kelompok
|
|
2
|
Eka Srimiarti
|
12.12.2926
|
Sekretaris
|
|
3
|
Abdusyahid
|
12.12.2916
|
Anggota
|
|
4
|
Nor Adilla
|
12.12.2963
|
Anggota
|
|
5
|
Nurul Habibah
|
12.12.2969
|
Anggota
|
|
6
|
Efendi Septian Cahyo
|
12.12.3010
|
Anggota
|
SEKOLAH TINGGI
AGAMA ISLAM (STAI)
DARUSSALAM
MARTAPURA
MARTAPURA
2014
A.
PENDAHULUAN
Secara pragmatis, teori belajar merupakan prinsip umum atau
kumpulan prinsip yang saling berhubungan
atau merupakan penjelasan atas sejumlah fakta dan penemuan yang berkaitan dengan peristiwa belajar. Di antara
sekian banyak teori yang berdasarkan hasil eksperimen ada tiga teori yang
paling menonjol, yaitu Connectionism, Classical Conditioning, dan Operan
Conditioning. Di katakan menonjol karena tiga teori di atas, banyak mengilhami
dan mendorong para ahli melakukan eksperimen-eksperimen lainnya untuk
mengembangkan teori-teori baru yang juga berkaitan dengan belajar. Selain tiga
teori di atas, ada juga teori pendekatan kognitif.
Dalam islam proses belajar dalam rangka terbentuknya perilaku baru,
juga erat sekali kaitannya dengan peniruan yang disebut uswatun hasanah (contoh
teladan yang baik). Dalam konteks ini, tentu proses peniruan yang disengaja,
sesuai dengan konsep belajar itu sendiri merupakan usaha sadar yang dilakukan
individu untuk memperoleh perubahan perilaku. Dalam konteks ini juga, perlu
dibedakan antara peniruan dengan pembiasaan. Dalam kehidupan sehari-hari
adakalanya perilaku pembiasaan itu bukan hasil belajar, misalnya kebiasaan
bertegur sapa ketika bertemu dengan seseorang.
B.
TEORI DAN HUKUM DALAM BELAJAR
1.
Teori-Teori
Belajar
a)
Makna
Belajar
Wahyu yang pertama diturunkan Allah Swt. Kepada Nabi
Muhammad Saw. (surat Al-‘Alaq ayat 1-5) memberikan isyarat bahwa islam amat
memperhatikan soal belajar (dalam konteks menuntut ilmu), sehingga
implementasinya menuntut ilmu (belajar) itu wajib menurut islam. Di dalam
Al-qur’an banyak kita temukan kalimat seperti ya’qilun, yatafakkarun,
yubsirun, yasma’un, dan sebagainya. Kalimat-kalimat di atas mengisyaratkan
bahwa Al-qur’an menganjurkan agar kita menggunakan potensi-potensi atau
organ-organ psiko-psikis seperti akal, indra penglihatan (mata), indra
pendengaran (telinga) untuk melakukan kegiatan belajar. Sebagai alat belajar,
akal merupakan potensi kejiwaan manusia berupa sistem psikis yang kompleks
untuk menyerap, mengolah, menyimpan , dan memproduksi kembali item-item
informasi dan pengatahuan. Selanjtnya, mata dan telinga merupakan alat fisik
yang berguna untuk menerima informasi visual dan informasi verbal.[12]
Dalam persfektif islam, belajar merupakan kewajiban bagi setiap
individu muslim-muslimat dalam rangka memperoleh ilmu pengatahuan sehingga
derajat kehidupannya meningkat. Di sisi lain , Allah Swt. Melalui rasulnya
menganjurkan orang islam belajar hingga ke negeri china dan memerintahkan
supaya menuntut ilmu dari buaian hingga ke liang lahat, menunjukkan bahwa islam
memandang pentingnya belajar. Makna belajar bukan hanya sekedar upaya perubahan
perilaku. Konsep belajar dalam islam merupakan konsep belajar yang ideal,
karena sesuai dengan nilai-nilai ajaran islam. Tujuan belajar dalam islam
bukanlah mencari rezeki di dunia ini semata, tetapi untuk sampai kepada
hakikat, memperkuat akhlak, artinya mencari atau mencapai ilmu yang sebenarnya
dan akhlak yang sempurna. Dalam keseluruhan proses pendidikan di sekolah,
termasuk pendidikan agama islam di sekolah-sekolah dan madrasah, kegiatan
belajar merupakan kegiatan yang paling pokok. Ini berarti bahwa berhasil
tidaknya pencapaian tujuan pendidikan, banyak bergantung kepada bagaimana
proses belajar yang dialami oleh anak didik.[13]
Dalam konteks psikologi pembelajaran, pengertian tentang belajar,
amat beragam. Belajar dipengaruhi oleh teori yang melandasi rumusan belajar itu
sendiri. Banyak orang beranggapan bahwa belajar semata-mata mengumpulkan atau
menghafal fakta-fakta yang terjadi dalam bentuk informasi atau materi pelajarn.
Anggapan seperti itu mungkin tidak sepenuhnya keliru, karena praktiknya banyak
orang yang belajar dengan hanya menghafal. Padahal, menghafal hanya salah satu
bagian dari beberapa cara belajar. Sesungguhnya konsep belajar tidak
sesederhana itu.
b)
Beberapa
Teori Belajar
1)
Teori
Koneksionisme (Conenectionism)
Teori ini ditemukan dan dikembangkan oleh Edward L. Thorndike
(1874/1949)[14]
berdasarkan eksperimen yang ia lakukan pada tahun 1890-an. Eksperimen Thorndike
menggunakan hewan-hewan terutama kucing untuk mengatahui fenomena-fenomena
belajar. eksperimen tersebut ialah Seekor kucing yang lapar ditempatkan dalam
sangkar berbentuk kotak berjeruji yang dilengkapi dengan peralatan seperti:
pengungkit, gerendel, pintu, dan tali yang menghubungkan pengungkit dengan gerendel tersebut.
Peralatan di atas ditata sedemikian rupa sehingga memungkinkan kucing tersebut
memperoleh makanan yang tersedia di depan sangkar. Keadaan bagian dalam sangkar
yang disebut puzzle box (peti teka teki) itu merupakan situasi stimulus
yang merangsang kucing untuk bereaksi melepaskan diri dan memperoleh makanan
yang ada di muka pintu. Mula-mula kucing tersebut mengeong, mencakar, melompat,
dan berlari-larian tetapi gagal membuka pintu untuk memperoleh makanan yang ada
di depannya. Akhirnya, entah bagaimana secara kebetulan kucing itu berhasil
menekan pengungkit dan terbukalah pintu sangkar tersebut. Eksperimen puzzle box
ini kemudian terkenal dengan nama instrumental conditioning, artinya tingkah
laku yang dipelajari berungsi sebagai instrumental (penolong) untuk mencapai
hasil atau ganjaran yang dikehendaki.
Dalam eksperimen Thorndike seperti dipaparkan di atas, ada dua hal
pokok yang mendorong timbulnya fenomena belajar. Pertama, kucing dalam
keadaan lapar. Seandainya kucing itu dalam keadaan kenyang, mungkin tidak akan
berusaha keras untuk keluar. Bahkan, mungkin kucing tertidur dalam puzzle
box yang mengurungnya. Dengan perkataan lain kucing tidak akan menunjukkan
gejala belajar untuk keluar sengkar. Oleh sebab itu, motivasi (seperti rasa
lapar) merupakan hal sangat vital dalam belajar. Kedua, tersedianya
makanan di muka puzzle box. Makanan ini merupakan efek. Positif atau
memuaskan yang dicapai oleh respons dan kemudian menjadi dasar timbulnya hukum
belajar yang disebut law of effect.dalam kehidupan sehari-hari law of effect itu dapat
terlihat dalam hal memberi penghargaan/ganjaran dan juga dalam hal memberi hukuman dalam
pendidikan.akan tetapi menurut thorndike yang lebih memegang peranan dalam
pendidikan ialah hal memberi penghargaan/ganjaran danj itulah yang lebih di
anjurkan.karena adanya law of effect terjadilah hubungan (connection) atau
asosiasi antara tingkah laku/reaksi yang dapat mendatangkan sesuatu dengan
hasilnya (effect).karena adanya koneksi antara reaksi dengan hasilnya itu maka
teori Thorndike disebut juga Connectionism.[15]
Kelemahan dari teori ini ialah:
-
Terlalu memandang manusia sebagai
mekanismus dan otomatisme
belaka disamakan dengan hewan. Meskipun banyak tingkah laku manuia itu dapat
dapat di pengaruhi secara trial and error. Trial dan error tidak berlaku
mutlak bagi manusia.
-
Memandang
bahwa belajar hanya merupakan asosiasi tersebut dengan latihan-latihan, atau
ulangan-ulangan yang terus menerus.
-
Karena
proses belajar berlangsung secara mekanistis, maka “pengertian” tidak di
pandangnya sebagai sesuatu yang pokok dalam belajar. Mereka mengabaikan
“pengertian” sebagai unsur pokok dalam belajar.
2)
Teori
pembiasaan klasikal (Classical
Conditioning)
Teori ini berkembang
berdasarkan hasil eksperimen yang dilakukan oleh ivan pavlov (1849-1936),
seorang ilmuwan berkebangsaan Rusia. Pada dasarnya classical conditoning
merupakan sebuah prosedur penciptaan refleks baru dengan cara mendatangkan
stimulus sebelum terjadinya refleks. Kata classical yang mengawali nama
teori ini semata-mata dipakai untuk menghargai karya pavlov yang dianggap
paling dahulu di bidang conditioning (upaya pembiasaan) dan untuk
membedakannya dari teori conditioning lainnya. Selanjutnya karena fungsinya,
teori pavlov ini juga dapat disebut respondent conditioning (pembiasaan yang
dituntut) atau dibiasakan. Dalam eksperimennya, pavlov menggunakan anjing untuk
mengatahui hubungan-hubungan antara conditioned stimulus (CS), unconditioned
stimulus (UCS), conditioned response (CR), dan unconditioned
response (UCR). CS adalah rangsangan yang mampu mendatangkan respons yang dipelajari, sedangkan respons
yang dipelajari itu sendiri disebut CR. Adapun UCS berarti rangsangan yang
menimbulkan respons yang tidak dipelajari, dan respons yang tidak dipelajari
itu disebut UCR.[16]
Anjing percobaan
pavlov diikat sedemikian rupa dan pada salah satu kelenjar air liurnya diberi
alat penampung cairan yang dihubungkan dengan pipa kecil. Kemudian dilakukan
eksperimen berupa pemberian latihan pembiasaan mendengarkan bel (CS)
bersama-sama dengan pemberian makanan berupa serbuk daging (UCS). Apakah yang
terjadi? Ternyata anjing percobaan tadi mengeluarkan air liur juga (CR), meskipun hanya
mendengarkan suara bel (CS). Jadi, CS akan menghasilkan CR apabila CS dan UCS
telah bekali-kali dihadirkan bersama-sama. Dengan perkataan lain, pembiasaan
akan muncul apabila dilakukan latihan secara berulang-ulang.
Berdasarkan eksperimen di
atas, semakin jelas bahwa belajar adalah perubahan yang ditandai dengan adanya hubungan antara
stimulus dan respons. Selanjutnya kesimpulan yang bisa ditarik dari eksperimen
pavlov adalah apabila stimulus yang diadakan (CS) selalu disertai dengan
stimulus penguat (UCS), stimulus tadi (CS) cepat atau lambat akhirnya akan
menimbulkan respons atau perubahan yang kita kehendaki yang dalam hal ini CR.
Teori pavlov apabila diterapkan dalam kegiatan belajar, banyak kelemahannya. Di
antara kelemahan itu adalah : (1) percobaan dalam laboratorium , berbeda dengan
keadaan sebenarnya, (2) pribadi seseorang (cita-cita, kesanggupan, minat,
emosi, dan sebagainya ) dapat memengaruhi hasil eksperimen, (3) respons mungkin
dipengaruhi oleh stimulus yang tidak dikenal. Dengan perkataan lain, tidak dapat
diramalkan lebih dahulu, stimulus manakah yang menarik perhatian seseoarang,
(4) teori sangat sederhana dan tidak memuaskan untuk menjelaskan segala seluk
beluk belajar yang ternyata sangat kompleks.
3)
Teori
Pembiasaan Perilaku Respons
Di antara teori belajar yang ada, teori pembiasaan perilaku
respons (operant conditioning) merupakan teori belajar yang berusia paling muda
dan masih sangat berpengruh dikalangan para ahli psikologi belajar masa kini.
Pencipta teori ini adalah Burrhus Frederic Skinner (lahir tahun 1904). Ia juga
seorang penganut behaviorisme yang dianggap paling kontroversial. Operant
adalah sejumlah perilaku atau respons yang membawa efek yang sama terhadap
lingkungan yang dekat. Berbeda dengan respondent conditioning (yang responnya
didatangkan oleh stimulus tertentu), respons dalam operant conditioning terjadi
tanpa didahului oleh stimulus, melainkan oleh efek yang ditimbulkan oleh
reinforcer. Reinforcer itu sendiri sesungguhnya adalah stimulus yang
meningkatkan kemungkinan timbulnya sejumlah respons tertentu, akan tetapi tidak
disengaja diadakan sebagai pasangan stimulus lainnya seperti dalam classical
respondent conditioning.[17]
Dalam rumusan
teorinya, skinner melakukan percobaan terhadap seekor tikus yang ditempatkan
dalam sebuah peti yang dikenal dengan “Skinner Box”. Peti yang digunakan
sebagai sangkar tikus, terdiri atas dua macam komponen pokok yaitu manipulandum
dan alat pemberi reinforcement antara lain berupa wadah makanan. Manipulandum
adalah komponen yang dapat dimanipulasi dan gerakannya berhubungan dengan
reinforcement. Komponen ini terdiri atas tombol, batang jeruji, dan pengungkit.
Dalam eksperimennya, mula-mula itu mengeksplorasi sangkar dengan cara lari ke
sana ke mari, mencium benda-benda yang ada di sekitarnya, mencakar dinding, dan
sebagainya. Aksi-aksi seperti itu disebut emitted behavior (tingkah laku yang
terpancar), yaitu tingkah laku yang terpancar dari organisme tanpa memedulikan
stimulus tertentu. Tanpa disengaja aktivitas tikus (emitted behavior) melalui
cakaran kaki atau moncongnya dapat menekan pengungkit. Tekanan pengungkit ini
mengakibatkan munculnya butir-butir makanan ke dalam wadah. Butir-butir makanan
yang keluar itu merupakan reinforcer (penguat) bagi penekanan pengungkit.
Penekanan pengungkit inilah yang disebut tingkah laku operant yang akan terus
meningkat apabila diiringi dengan reinforcement, yakni penguatan berupa
butir-butir makanan yang muncul pada wadah makanan. Eksperimen Skinner tadi
mirip sekali dengan trial and error learning yang ditemukan oleh Thorndike.
Dalam hal ini fenomena tingkah laku belajar menurut Thorndike selalu melibatkan
satisfication (kepuasan), sedangkan menurut Skinner fenomena tersebut
melibatkan reinforcement (penguatan). Dengan demikian, baik belajar dalam teori
S-R Bond maupun dalam teori operan conditioning langsung atau tidak langsung,
keduanya mengakui arti penting law of effect.
4)
Teori
Pendekatan Kognitif
Teori ini merupakan bagian terpenting dari sains kognitif yang
telah memberi kontribusi yang sangat berarti dalam perkembangan psikologi
pendidikan, termasuk psikologi belajar. Sains kognitif merupakan himpunan
disiplin ilmu yang terdiri atas: psikologi kognitif, ilmu-ilmu komputer,
linguistik, intelegensi buatan, matematika, epistemologi, dan neuropsychology
(psikologi saraf). Pendekatan psikologi kognitif lebih menekankan arti penting
proses internal, mental manusia. Dalam pandangan para ahli kognitif, tingkah
laku manusia yang tampak tidak dapat diukur dan diterapkan tanpa melibatkan
proses mental, seperti: motivasi, kesengajaan, keyakinan, dan sebagainya.
Menurut para ahli psikologi kognitif, aliran
behaviorisme itu tidak lengkap sebagai sebuah teori psikologi, sebab
tidak memperhatikan proses kejiwaan yang berdimensi ranah cipta, seperti
berpikir, mempertimbangkan pilihan, dan mengambil keputusan. Itulah sebabnya,
pendekatan kognitf sering dipertentangkan dengan pendekatan behavioristik. Akan
tetapi sesungguhnya pendekatan kognitif tidak anti terhadap pendekatan
behavioristik.[18]
2.
Keterkaitan
Antara Teori Hukum Dalam Belajar
Eksperimen-eksperimen
Thorndike mengenai hewan mempengaruhi pikirannya mengenai belajar pada taraf
insansi (human). Dia yakin bertentangan dengan kepercayaan umum bahwa tingkah
laku hewan sedikit sekali dipimpin oleh pengertian. Respons-respons itu
dilakukan oleh hewan langsung terhadap situasi yang diamati. Dengan tidak
menyatakan secara eksplisit menolak kemungkinan adanya pengertian pada hewan,
dia yakin bahwa masalah belajar itu pada hewan dapat diterangkan sebagai
hubungan langsung antara situasi dan perbuatan, tanpa diantarai oleh
pengertian. Perbandingan yang dibuatnya mengenai surve belajar pada hewan dan
pada manusia memberi keyakinan kepadanya, bahwa hal-hal yang menjadi dasar
proses belajar pada hewan dan pada manusia itu adalah sama saja. Baik belajar
pada hewan , maupun belajar pada manusia itu berlangsung pada tiga macam hukum
belajar pokok, yaitu:
a)
Law
of readiness
Law of readiness adalah
prinsip tambahan yang menggambarkan
taraf fisiologis bagi law of effect.[19]
Hukum ini menunjukkan keadaan-keadaan di mana pelajar cenderung untuk
mendapatkan kepuasan atau ketidakpuasan, menerima atau menolak sesuatu. Menurut
Thorndike ada tiga keadaan yang demikian itu, yaitu:
(1)
Kalau
unit konduksi sudah siap untuk berkonduksi, maka konduksi dengan unit tersebut
akan membawa kepuasan, dan tidak akan ada tindakan-tindakan lagi (yang lain)
untuk mengubah konduksi itu.
(2)
Unit
konduksi yang sudah siap untuk berkonduksi apabila tidak berkonduksi akan
menimbulkan ketidakpuasan, dan akan menimbulkan respons-respons yang lain untuk
mengurangi atau meniadakan ketidakpuasan itu.
(3)
Apabila
unit konduksi yang tidak siap berkonduksi dipaksa untuk berkonduksi, maka
konduksi itu akan menimbulkan ketidakpuasan, dan berakibat dilakukannya
tindakan-tindakan lain untuk mengurangi atau meniadakan ketidakpuasan itu.
Law
of readiness (hukum kesiapan) pada prinsipnya hanya merupakan asumsi bahwa
kepuasan organisme itu berasal dari pendayagunaan conductionis unit (satuan
perantara). Unit-unit ini menimbulkan kecenderungan yang mendorong organisme
untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu. Jadi, apabila kecenderungan bertindak
itu timbul karena penyesuaian diri atau hubungan dengan sekitar, karena sikap
dan sebagainya, maka memenuhi kecenderungan itu di dalam tindakan akan
mmberikan kepuasan, dan tidak memenuhi kecenderungan tersebut akan menimbulkan
ketidakpuasan.
b)
Law
of exercise
Hukum ini mengandung dua hal yaitu:[20]
(1)
Law
of use : hubungan-hubungan atau koneksi-koneksi akan menjadi bertambah kuat
kalau ada latihan. Artinya, perilaku (perubahan hasil belajar) sering dilatih,
eksistensi perilaku tersebut akan semakin kuat.
(2)
Law
o disuse : hubungan-hubungan atau koneksi-koneksi akan menjadi bertambah lemah
atau terlupa kalau latihan-latihan dihentikan. Artinya, apabila perilaku tidak
sering dilatih, eksistensi perilaku tersebut akan terlupakan atau
sekurang-kurangnya akan menurun.
c)
Law
of effect
Law of effect ini menunjukkan kepada makin kuat atau makin lemahnya
hubungan sebagai akibat daripada hasil respons yang dilakukan. Apabila suatu
hubungan atau koneksi dibuat dan disertai atau diikuti oleh keadaan yang
memuaskan, maka kekuatan hubungan itu akan bertambah, sebaliknya apabila suatu
koneksi dibuat dan disertai atau diikuti oleh keadaan yang tidak memuaskan, maka
kekuatan hubungan itu akan berkurang. Artinya, jika sebuah respons menghasilkan
efek yang memuaskan, hubungan antara stimulus dan respons akan semakin kuat.
Sebaliknya, semakin tidak memuaskan (mengganggu) efek yang dicapai respons,
semakin lemah pula hubungan stimulus dan respons tersebut.[21]
C.
SIMPULAN
Teori-teori belajar yang dirumuskan melalui eksperimen oleh
Thorndike, Skinner, dan Pavlov pada dasarnya lebih bersifat behavioristik dalam
arti lebih menekankan timbulnya perilaku jasmaniah yang nyata dan dapat diukur.
Teori-teori itu pun bersifat otomatis mekanis dalam menghubungkan stimulus dan
respons, sehingga terkesan seperti kinerja masih robot. Apabila dicermati dan
dibandingkan dengan teori belajar temuan riset psikologi kognitif,
karakteristik belajar yang terdapat dalam teori-teori behavioristik yang telah
terlanjur diyakini sebagian besar ahli pendidikan, sesungguhnya mengandung
banyak kelemahan.
Dari eksperimen-eksperimen yang telah dikemuakan oleh Thorndike
tentang belajar pada hewan maupun belajar pada manusia, maka muncullah tiga
macam hukum belajar pokok, yaitu:
1)
Law
of readiness
2)
Law
of exercise
3)
Law
of effect
Proses belajar dalam teori operant conditioning tunduk kepada dua
hukum operant yang berbeda, yakni: pertama, law of operant conditioning. Dalam
hukum operant ini,apabila timbulnya tingkah laku tersebut akan meningkat.
Kedua, law of operant extinction. Dalam hukum operant ini, apabila tingkah laku
operant yang telah diperkuat melalui proses conditioning itu tidak diiringi
dengan stimulus penguat, maka kekuatan tingkah laku tersebut akan menurun atau
bahkan musnah. Hukum-hukum ini pada dasarnya sama saja dengan hukum-hukum yang
melekat dalam proses belajar menurut teori pembiasaan yang klasikal.
DAFTAR
PUSTAKA
Tohirin.2011.psikologi pembelajaran pendidikan agama islam.raja
grapindo persada.Jakarta.cet 4
Suryabrata,sumardi.2002.psikologi pendidikan.raja grapindo
persada.Jakarta
Ngalim Purwanto, Psikologi Pendidikan, Remaja Rosda Karya:
Bandung
[2] H. Abdullah,
sosiologi pendidikan, PT Rajagrafindo persada. Jakarta: 2013 Hal : 117
[3] interaksi
Edukatif.pdf di ambil dari makalah FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS SEBELAS MARET S U R A K A R T A
[4]
http;//koffieenco.blogspot.com/2013/07/konsep-dasar-belajar.html
[5] Asmani,
Jamal Ma’mur. 2009. Jurus-jurus Belajar Efektif. Yoyyakarta: Diva Press. Hal.19
[6] Nasution,
berbagai pendekatan dalam proses belajar mengajar, Jakarta : Bina
Aksara, 1988, hlm. 68
[7] Ibid, hal. 20
[8]
http://tixcreation.blogspot.com/2012/05/bentuk-bentuk-belajar.html.
[9]
www.acadamia.edu/4570365/Aktivitas_Belajar
[10]
www.acadamia.edu/4570365/Aktivitas_Belajar
[11]
Djamarah,Syaiful Bahri,2008. Psikologi Belajar. Jakarta:Reneka
Cipta
[12] Tohirin,
Psikologi Pembelajaran Pendidikan Al-Quran, Raja Grafindo Persada: Jakarta hlm
55
[13] Ibid Hal 57
[14] Ibid Hal 62
[15] Ngalim
Purwanto, Psikologi Pendidikan, Remaja Rosda Karya: Bandung Hal 98
[16] Tohirin,
op.cit hal 64
[17] Ibid hal 66
[18] Ibid hal 71
[19] Sumardi
Suryabrata, Psikologi Pendidikan, PT. Raja Grafindo Persada : Jakarta Hal 250
[20] Ibid hal 252
[21] Ibid hal 256
1 komentar:
ok juga bagus,trimks !
Posting Komentar